Dua

1.9K 133 73
                                    

"Nek, aku belanja ke supermarket dulu." Zaya melambai pada nenek nya yang sedang melipat baju sambil nonto sinetron di ruang tengah. Meski sudah berumur Tujuh puluh lima tahun dan sedang berjuang melawan leukemia, neneknya tidak pernah mau diam tanpa bekerja. Karenanya Zaya selalu memastikan semua pekerjaan berat sudah dikerjakannya, sementara neneknya tetap diberi jatah untuk melakukan pekerjaan yang lebih ringan. "Nenek mau dibelikan sesuatu?"

"Pastel dan lumpia yang ada di depan supermarket. Sudah lama nenek nggak makan gorengan."

"Baiklah, aku pergi dulu."

Nenek dan Kakek Zaya dari pihak ayahnya adalah orang-orang yang tidak pernah menunjukkan perasaannya. Mungkin Zaya memperoleh kemampuan itu secara genetika. Karena Zaya juga tidak pandai menunjukkan perasaannya. Karenanya hubungan Zaya dengan kakek dan nenek lebih terkesan formal meskipun kedua nya lah yang membesarkan Zaya. Mereka memang ngobrol dan saling peduli dan kadang saling mengingatkan. Tapi tidak pernah ada pelukan ataupun istilah bermanja. Benar-benar hubungan formal yang kaku.

"Assalamualai..." Zaya meneriakkan salamnya saat membuka pintu depan. Tapi belum sempat Zaya menyelesaikan salamnya, Zaya pun menebrak sesuatu yang keras saat melangkah keluar pintu tanpa melihat ke depan. Rasanya sedikit sakit karena ada bunyi 'Buk', saat Zaya menabrak benda itu.

"Ups. Walaikumusalam." Benda itu bisa berbicara.

Zaya pun langsung membuka matanya dan menengadah untuk mencari sumber suara. Tentu saja. Benda keras itu berwujud dada seorang pria tampan yang saat ini sedang tersenyum lebar. Zaya tidak mengenal pria itu atau melihatnya sebelumnya. Jadi Zaya pun langsung mundur untuk menciptakan jarak diantara dirinya dengan pria berwajah tampan itu.

"Maaf. Saya jalannya tidak hati-hati." Zaya mencoba mengamati pria dengan celana jeans dan hodie berwarna biru yang kini menatapnya dengan penuh ketertarikan. Di belakangnya ada Brabus Wagon hitam yang memang cocok terparkir di rumah mewah ini. Sangat kontras dengan Beat matic Zaya yang ada disudut. "Ada yang bisa saya bantu?"

"Ada. Bisakah kamu tunjukkan dimana kamarku?" Pria itu menunjuk pada koper dan tas nya yang berada disisinya. "Dimana aku harus meletakkan barang-barang ini?"

"Maaf. Anda?" Zaya mengerutkan kening. Mungkinkah salah satu keluarga Narendra? Tapi jika memang demikian, seharusnya pria itu datang tiga hari yang lalu sesuai info dari kakek Zaya. Pria dengan mata cokelat hangat itu sudah sangat terlambat.

"Ah. Iya. Kita belum kenalan." Pria itu mengulurkan tangan. "Aku Ardhito Putra Narendra. Panggil saja Dhito."

"Zaya." Tanpa menerima uluran tangan kokoh itu, Zaya hanya mengangkat bahu dan memasukkan kedua tangannya ke dalam hoodie biru navi nya. "Mari saya antar ke kamar anda."

Zaya berniat menarik koper dan mengangkat tas Pria bernama Dhito itu. Itu tugasnya. Tapi pria itu sudah lebih dulu memanggul tasnya di bahu dan menarik kopernya dengan tangan lain.

"Aku tidak akan membiarkan cewek membawakan barang-barangku." Kata Dhito sambil berjalan mengikuti Zaya memasuki rumahnya. "Dan sebelum kamu memanggilku Pak. Aku memintamu memanggilku Dhito. Hanya Dhito. Dan tolong jangan berbicara dengan formal. Aku bukan kak Ditya ataupun kakekku."

Perkataan Dhito terhenti saat mereka melewati ruang tengah. Dengan satu alis terangkat dia memandangi televisi yang sedang menyala dan menyuguhkan adegan saling tampar di sinetron yang di tonton nenek Zaya. Sungguh, Zaya lupa kalau neneknya masih disana bersama pakaian-pakian mereka.

"Zaya, kamu belum berangkat." Neneknya berkata tanpa mengalihkan pandangan dari sinetron yang dilihatnya. "Coba cek ke tempat jemuran. Mungkin bra dan celana dalam mu jatuh..."

PelangiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang