Tiga Puluh Satu

1.2K 87 0
                                    

Kata Dhito, Zaya tidak perlu memikirkannya. Tapi otak Zaya tidak bisa berhenti memutar kembali kenangan saat Dhito menatapnya dengan sungguh-sunggguh dan menyatakan cintanya. Zaya tidak dapat menemukan tombol pause atau stop untuk menghentikannya. Sehingga apa yang dikatakan oleh Dhito sama sekali tidak dapat dilakukan Zaya.

Tidak perlu ditanya apa reaksi Zaya begitu Dhito selesai menyatakan cinta dan melepaskan pipinya. Tentu saja Zaya langsung kabur ke ruangan ganti yang di dalammnya ada kamar mandi untuk pengguna gym itu. Zaya berlama-lama berada di ruang an itu untuk menghindari Dhito sekaligus menghilangkan rasa panas yang dirasakan di pipinya. Saat perjalanan pulang pun Zaya hanya bisa mengunci mulutnya rapat-rapat karena otaknya sudah aktif memutar ulang kejadian itu sejak Zaya lari ke ruang ganti. Zaya hanya menjawab dengan satu atau dua kata saat Dhito yang bersikap seakan tidak terjadi apapun itu bertanya pada Zaya.

Sementara otaknya sibuk memutar ulang kejadian itu, dalam diri Zaya justru muncul dua sisi yang selalu beradu argument. Setiap satu pertanyaan yang muncul, dua sisi itu akan berdebat sengit. Banyak pertanyaan yang muncul yang pada akhirnya tidak dapat dijawab Zaya. Tapi pertanyaan yang sering muncul selama dua hari ini adalah haruskah dirinya membalas perasaan Dhito?

Satu sisi dalam diri Zaya bersuara keras bahwa Zaya harus membalasnya, semua debaran yang dirasakan Zaya pada Dhito sudah cukup untuk membalas perasaan Dhito. Sementara satu sisi yang lain dalam diri Zaya, mendebat dengan berbalik bertanya apakah Zaya bisa menjamin bawah debaran yang dirasakannya adalah cinta? Bahkan Zaya tidak pernah tau bagaimana rasanya jatuh cinta. Apakah dirinya hanya akan membalas Dhito dengan perasaan seadanya tanpa tau apa yang dirasakannya pada pria itu? Setelah apa yang telah dilakukan Dhito untuknya selama ini.

"Kamu yakin dengan keputusan mu?" Suara berat Dhito mengembalikan Zaya dari lamunanya.

Zaya pun mengarahkan pandangannya pada wajah Dhito dan mengangguk untuk menyakinkan pria itu. "Ini adalah kesempatan kita. Aku tidak ingin dia berubah pikiran hanya karena kita tidak mengikuti persyaratan yang diberikannya."

Dengan kecemasan yang nampak di matanya, Dhito menarik nafas panjang sebelum menggengam erat tangan Zaya. "Aku akan menunggumu disini. Dia hanya bilang ingin bicara berdua denganmu. Tapi tidak melarangmu untuk datang bersamaku. Jadi aku akan mengawasi dari sini."

Dhito pun duduk di bangku taman rumah sakit Herda, tempat Pramono Pramudhana dirawat. Dhito tidak begitu saja melepaskan tangan Zaya, meski mereka berdua bisa melihat Pramono Pramudhana sedang menunggu bersama dokter Alham di sisi lain taman yang digunakan pasien dan keluarganya bersantai itu. Meski dapat merasakah kekhawatiran Dhito. Zaya tidak bisa menyembunyikan senyumnya karena sikap protektif Dhito.

"Aku janji, aku akan berteriak memanggil namamu begitu Pramono Pramudhana berusaha memakanku." Kata Zaya sambil menepuk-nepuk tangan mereka yang bertaut.

"Itu tidak lucu." Kata Dhito dengan cemberut. Meskipun begitu pria itu akhirnya melepaskan tangan Zaya.

Setelah mengangguk sekali lagi pada Dhito, Zaya pun berbalik untuk memandang ke tempat kakeknya sedang menunggu di atas kursi rodanya. Dengan usaha keras untuk memfokuskan pikirannya, Zaya pun beranjak menuju tempat kakeknya. Pernyataan cinta Dhito dapat Zaya pikirkan lagi setelah berhadapan dengan Pramono Pramudhana.

Kesempatan yang datang sehari sebelum rapat pemegang saham ini harus bisa Zaya manfaatkan dengan sebaik-baiknya. Meski awalnya tidak menyangka bahwa Pramono Pramudhana akan menelfonnya dan meminta Zaya untuk menemuinya. Tapi setelahnya Zaya yakin bahwa kakeknya itu sudah menetapkan keputusan.

"Aku pergi dulu." Kata Dokter Alham saat Zaya sampai di depan kakeknya.

Dokter Alham pun tersenyum dan menepuk pundak Zaya beberapa kali saat dokter ramah itu melewatinya.

PelangiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang