Dua Puluh Sembilan

1.1K 88 0
                                    

Tidak mudah bagi Zaya untuk melakukan reuni keluarga dengan kakeknya. Berdasarkan informasi yang didapat kak Naira, Pramono Pramudhana dirawat di sebuah rumah sakit swasta terkenal yang memberikan fasilitas dan tingkat keamanan terbaik. Meskipun rumah sakit itu dikelolah dan dimiliki oleh keluarga Dokter Revan yang notabene dikenal oleh Dhito dan keluarganya. Tapi mereka memiliki SOP yang jelas dan tegas. Mereka tidak begitu saja mengizinkan dan memberikan akses bagi Dhito, Zaya dan Arnesh untuk bisa menginjakkan kaki di lantai VVIP tempat Pramono Pramudhana dirawat.

Namun sekali lagi, keluarga Narendra memiliki pengaruh yang sama kuatnya dengan keluarga Pramudhana. Pengaruh itu semakin kuat saat kakek Hanggara sendiri yang datang membantu mereka untuk dapat menjalankan rencana mereka. Kakek Hanggara menemui mereka di lobby rumah sakit dan langsung mengajak ketiganya menaiki lift menuju lantai tempat Pramono Pramudhana dirawat. Entah bagaimana, kakek Hanggara bisa memiliki kamar rawat di lantai yang sama dengan kakek Zaya itu.

"Kamu sama sekali tidak pernah bertemu dengan Pramono, Zaya?" Tanya kakek Hanggara saat mereka berada didalam lift dengan design mewah itu.

Ini adalah pertama kalinya Zaya berbicara dengan kakek Hanggara secara langsung. Zaya memang beberapa kali bertemu dengan kakek Hanggara. Tapi tidak pernah ada kesempatan bagi keduanya untuk berbicara satu sama lain. Karenanya Zaya sedikit gugup menghadapi pria yang memiliki charisma kuat meskipun sudah berusia lanjut itu.

"Iya." Zaya mengangguk. "Ini pertama kalinya saya akan bertemu dengan beliau."

"Kalau begitu kita harus berdo'a dia tidak shock hingga memperparah keadaanya." Kakek Hanggara tersenyum sambil memandangi wajah Zaya. "Karena wajahmu begitu mirip dengan mendiang nenekmu saat dia masih muda. Tantri. Istri Pramano."

Kening Zaya berkerut saat mengalihkan pandangannya pada Arnesh, untuk mengklarifikasi perkataan kakek Hanggara. Karena memang Zaya tidak pernah bertemu dengan keluarga besar dari mamanya. Termasuk nenek dari pihak mamanya. Zaya sama sekali tidak tau bagaimana wajah neneknya yang meninggal setahun setelah kelahirannya.

Arnesh mengangguk tepat saat lift sampai di lantai yang mereka tuju. "Aku pernah melihat foto pernikahan kakek dan nenek. Kamu benar-benar mirip nenek."

Pembicaraan tentang kemiripan Zaya dengan neneknya berakhir di depan kamar rawat Pramono Pramudhana. Ada dua orang pria bertubuh kekar yang berjaga di depan kamar itu. Tentu saja, ini tidak akan mudah. Tapi kakek Hanggara dengan tanpa beban berjalan mendekati kedua bodyguard itu.

"Bilang pada Pramono. Temannya Hanggara, datang untuk memberinya hadiah." Kata kakek Hanggara pada kedua bodyguard itu.

Bodyguard dengan wajah bulat dan badan seperti pesumo itu pun beranjak masuk dan menghilang dari balik pintu. Sementara bodyguard yang satu lagi memandangi setiap wajah yang berderet di belakang kakek Hanggara. Mulai dari Dhito, Zaya hingga Arnesh. Zaya berani bertaruh pria itu akan melapor pada salah satu tantenya. Tapi memang itulah yang mereka inginkan.

Selang beberapa saat bodyguard berbadan pesumo itu keluar dari ruangan bersama dengan pria tengah baya berkacamata dengan jas putih dokternya. Dr. Muhammad Alham, Sp.JP. Itulah yang tertulis di nametag yang tertempel di jas putihnya.

"Katanya kamu membawa hadiah untuk Pramono?" Tanya pria dengan rambut kelabu itu sambil menaikkan satu alisnya. "Boleh aku melihatnya? Sebagai dokternya aku ingin memastikan hadiah mu tidak berbahaya bagi kesehatannya."

"Kau tau sendiri Alham, aku tidak ingin rivalku itu pergi meninggal lebih dulu. Hidup ini sama sekali tidak menarik jika dia pergi terlebih dahulu." Kata kakek Hanggara yang disusul dengan tawanya yang dalam.

Meskipun begitu kakek Hanggara bergeser dan mudur ke samping Zaya. Dengan lembut kakek Hanggara menepuk-nepuk bahu Zaya. "Kenalkan, ini cucu menantuku, Zaya. Bagaimana menurutmu?"

PelangiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang