Dua Puluh Empat

1K 96 0
                                    

Tangis Zaya membuat Dhito terduduk di lantai kamar mandi yang dingin. Isakan gadis itu membuatnya mengepalkan tangan untuk menahan diri dari keinginan untuk berlari kepada Zaya dan memeluknya. Tapi Zaya akan berhenti menangis jika Dhito melakukannya. Karenanya Dhito berusaha sekuat tenaga menahan diri.

Dhito tau bahwa gadis itu berusaha dengan sekuat tenaga untuk menahan segala emosinya terkait kejadian yang baru mereka alami. Karenanya Dhito sengaja memberikan Zaya waktu untuk sendiri. Dhito tau Zaya akan membuang topeng gadis kuatnya dan menumpahkan segalanya, begitu gadis itu ditinggal sendiri. 

Keputusan Dhito benar. Pilihannya untuk tidak benar-benar menutup kamar mandi juga benar. Tapi isak tangis Zaya yang terdengar melalui celah pintu itu justru menyiksa Dhito. Karena dia tidak dapat melakukan apapun kecuali membiarkannya. Zaya memang membutuhkan ruang untuk sendiri. Zaya memang harus menumpahkan semua perasaan yang dipendamnya. Jadi Dhito pun harus bertahan dengan siksaan ini.

Ponsel dhito yang bergetar dalam saku kemejanya berhasil sedikit mengalihkan perhatian Dhito. Nama kak Ditya yang muncul dilayar, membuat Dhito segera menerima panggilan itu. Kakaknya itu tidak akan menelfonnya disaat seperti ini tanpa alasan penting.

"Aku tidak mengganggu malam pertamu 'kan?" Ucap kak Ditya begitu Dhito menjawab salamnya.

"Kak..." Dhito tidak memiliki mood yang cukup untuk menanggapi candaan kakaknya. Terutama dengan isak tangis Zaya yang masih terdengar.

"Oke. Aku tau." Nada suara kak Ditya berubah menjadi serius. "Aku sudah mengurus semuanya. Berita tentang kecelakaan itu akan menyebar malam ini juga. Teman ku yang di kepolisian menginfokan bahwa mereka sudah selesai mengindentifikasi Mama Zaya dan akan memberitahu keluarganya."

"Terima kasih kak." Ucap Dhito karena bantuan kakaknya memang benar-benar berarti. "Bagaimana dengan dua orang yang kamu tangkap?"

"Karena itulah aku menelfonmu. Aku menemukan informasi menarik dari mereka." Kak Ditya memulai. "Mama Zaya kabur ke Jakarta dan menghilang selama dua hari. Karena itulah akhirnya Ambar mengetahui bahwa kondisi mama Zaya membaik dan memerintahkan dua orang itu mencarinya. Baru kemarin malam mereka menemukannya."

"Jadi wanita gila itu memanfaatkan keadaan itu untuk sekalian menyingkar Zaya." Kesimpulan itu membuat Dhito memukulkan kepalan tangannya ke lantai.

"Begitulah." Hening sesaat sebelum kak Ditya melanjutkan perkataanya. "Jadi kamu siap memimpin pertarungan ini?"

"Tentu. Karena ini adalah pertarunganku sejak awal." Dhito berkata tanpa gentar.

"Bagus. Karena seluruh anggota keluarga Narendra sudah siap membantumu." Kata kak Ditya. "Kita akan mulai meeting kita besok pagi. Ajak Zaya juga. Karena para wanita keluarga Narendra sudah tidak sabar memberikan dukungan mereka."

"Kak, aku tidak bisa membawa Zaya. Dia..."

"Dia adalah gadis kuat." Potong kak Ditya. "Karena itulah kakek menginginkannya menjadi istrimu. Kakek Hanggara hanya mengizinkan wanita-wanita kuat untuk mendampingi cucu-cucunya. Jadi kamu tidak perlu meragukan Zaya."

"Aku tau itu. Tapi aku tidak ingin Zaya terluka lebih dalam."

"Dengar. Aku akan membagikan pengalamanku sebagai suami dari wanita kuat lainnya." Perkataan kak Ditya itu membuat Dhito menaikan satu alisnya. "Kamu hanya bisa melindunginya jika kamu membiarkannya bertarung bersamamu disisimu. Dia justru akan lari jika kamu meletakkannya dalam sangkar emas karena tidak ingin dia terluka. Percayalah, memintanya kembali ke sisimu lebih sulit daripada membiarkannya bertarung disisimu."

Dhito tau kalau perkataan kakaknya itu berdasarkan pengalaman pribadinya. Dhito masih ingat jelas bagaimana keadaan Kak Ditya saat Naira pergi dari sisinya karena masa lalu yang menghantui mereka. Jadi Dhito tidak bisa membantah perkataan kakaknya.

PelangiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang