Dikta sudah kesekian kalinya menghela nafas sejak tadi, cowo malang itu akhirnya mendudukan bokongnya di taman belakang sekolah.
Pikiran dan fisiknya mulai lelah, lelah mengejar Tania yang masih marah padanya, gadis itu bahkan selalu menghindar ketika Dikta mendekatinya.
Jika dihitung, mungkin sudah belasan kali cowo itu berusaha menemui Tania, namun masih belum ada respon, malah gadis itu terus membentaknya.
"Pergi Dikta! bisa ngga sih, jangan gangguin aku terus? risih tau ngga!?"
Begitulah sekiranya teriakan Tania di kantin, saat cowo itu ingin menemaninya makan,dan tentu banyak pasang mata yang melihat mereka.
Padahal Dikta datang dengan niat yang baik, namun balasannya malah seperti itu.
Ternyata benar, Tania sudah sangat marah sekali padanya, okeee Dikta mengetahui dirinya salah, dan tak seharusnya ia mengeluarkan kata kata yang membuat gadis itu sakit hati.
Penyesalan bahkan terus mendatangi benaknya, seolah olah rasa itu ingin menyadarkan Dikta dari kesalahannya.
"Bodoh lo Dikta, tolol" Gumam cowo itu sendiri, pandangan matanya pun juga sudah sangat lesu, tidak seperti biasanya.
Wajahnya juga pucat dan tak karuan, seperti orang yang tidak makan selama seminggu, badannya terasa sangat lemas.
Tapi tak lama kemudian, cowo itu tertegun karena merasakan ada yang aneh pada bahunya, bahkan bahunya terasa sangat ngilu dan perih.
"Darah..."
Dikta kaget melihat darah di bahunya yang terus bercucuran tanpa henti, cowo itu berusaha menutupi luka bekas tikaman pisau karna pertempuran beberapa hari silam bersama geng motor yang mengusik teman temannya.
Jujur, memang rasanya sangat sakit dan perih, dan anehnya lagi saat Dikta mendapatkan luka itu ia malah tak langsung ke rumah sakit.
Padahal teman temannya sudah membujuk dengan ribuan kata kata, namun Dikta tetaplah Dikta si cowo keras kepala, yang tak pernah sekalipun memikirkan keadaannya sendiri.
Malam itu ia lebih memilih datang ke rumah Tania untuk meminta maaf, karena sudah meninggalkan gadis itu saat pulang sekolah, daripada harus menangani lukanya yang terbilang cukup parah.
Dan pada saat itu juga, Dikta mengenakan hoodie agar luka di bahunya tak terlihat oleh gadis itu, ia tak ingin Tania khawatir dan menangis melihat keadaannya.
Sungguh sebenarnya ia benci melihat Tania menangis di hadapannya, apalagi itu karna kesalahannya sendiri, ia tak bisa memaafkan dirinya sendiri.
"Dikta! lo kenapa woy!? k-kok ada darah gini?" Nathan datang secara tiba tiba bersama yang lainnya.
Mereka melihat dengan jelas, satu tangan Dikta menutupi lukanya yang masih penuh dengan darah, bahkan sesekali cowo itu meringis kesakitan.
"Udah gila lo Dik sumpah! gue bilangin dari kemarin periksa ke dokter, malah bandel, jadi gini kan sekarang!" Ardian berteriak penuh emosi.
Bukannya apa apa, ia sangat khawatir dan takut melihat kondisi sahabatnya itu, ia tak ingin terjadi apa apa pada Dikta.
"Tenang Ar, jangan kebawa emosi. mending kita bawa Dikta ke UKS dulu" Ujar Aldi, sambil sesekali menepuk nepuk bahu Ardian agar merasa tenang.
"Van, p-pinjem jaket lo sebentar"
Suara Dikta terdengar sangat lemas, bahkan matanya seperti susah untuk dibuka sempurna, pandangannya juga kabur.
Mendengar permintaan dari Dikta, Kevan langsung mengangguk dan membuka jaket hitamnya, lalu menyampirkannya di bahu cowo itu, agar orang lain tak tau bahwa Dikta terluka.

KAMU SEDANG MEMBACA
Dikta Untuk Tania
Teen Fictionini kisah tentang seseorang yang tidak ingin lepas dari kasih sayang seorang sahabat.. kisah yang menceritakan seorang laki laki dengan rasa cinta yang tulus kepada seorang perempuan yang sangat ia sayangi di dunia jika cinta bisa menerima kasih say...