Seperti biasa. Setiap pulang sekolah, Varel selalu menyempatkan untuk mampir ke rumah sakit. Walaupun Revan masih belum mengingat semua tentang kenangan mereka, tapi, Varel tak akan menyerah. Ia akan berusaha sebiasa mungkin untuk membuat kenangan itu kembali. Karena bagaimana pun juga, kenangan itu sangat berharga bagi Varel. Dan ia percaya kalau itu juga sangat berharga bagi Revan. Ia yakini itu.
Dunia kini hanya menguji kesabaran Varel. Setelah selama ini ia tak pernah dihadapi dengan sebuah masalah. Inilah masalah pertama yang pernah ia hadapi. Dan masalah yang ia hadapin sangat complicated. Masalah hati. Masalah tentang hati adalah masalah yang paling menyulitkan bagi Varel. Sebenarnya ia lebih memilih untuk bercinta dengan rumus matematika dibanding memiliki kekasih yang sangat merepotkan. Tapi, sayangnya, Varel sudah terjebak di masa itu. Ia tak bisa lagi menyangkal kalau dia kini telah menjadi budak cinta yang tak bisa dilepas dalam dirinya.
Entah kenapa, setiap kali Varel melihat Revan yang tersenyum atau sedang melakukan sesuatu di ruangan rumah sakit, membuat ia ikut tersenyum. Ia bisa merasakan kalau pria itu sebenarnya sudah mulai pulih dari sakitnya. Ia yakin dan percaya, suatu saat, Revan akan pulih total.
"Siang!" sapa Varel saat masuk ke dalam ruangan Revan. Pria itu sedang berbaring memandang plafon. Tak ada satu kegiatan pun yang ia lakukan. Matanya seketika langsung menatap Varel yang sudah duduk di sisinya. Kemudian kembali mengalihkan pandangannya dari pria itu.
"Udah makan?"
"Udah."
Sebenarnya, Varel sedikit sakit hati mendengar jawaban Revan yang sangat singkat. Karena selama ini, disaat mereka bersama, sifat dingin pria itu tak pernah ada. Sifat itu hanya ada jika dia bersama dengan sahabat-sahabatnya. Tapi, kini, sofat itu kembali lagi dan itu terjadi dihadapannya.
Varel tak mempermasalahkan sifat dingin kekasihnya itu. Semua itu hanya karena ingatannya yang belum balik. Nanti, Revan pasti akan kembali. Keyakinan ini sangat melekat dalam jiwa Varel.
"By the way," Revan langsung bergerak meraih hpnya yang terletak di meja kecil samping kasurnya. Lalu menunjukkannya ke Varel.
"Kenapa foto lo ada di wallpaper hp gue?"
Pandangan Varel beralih ke layar hp Revan yang retak karena kecelakaan. Layar itu menampilkan dirinya yang sedang tersenyum di sebuah danau. Ia mengingat masa itu. Itu hari kedua saat mereka pergi ke danau bersama. Senyuman Varel terlihat tulus. Foto itu diambil Revan tanpa secara tiba-tuba. Saat ia tersenyum, Revan memanggilnya dan langsung mengabadikannya.
Tak ada jawaban yang keluar dari mulut Varel. Ia masih menatap foto itu sambil tersenyum. Seketika suasana kamar mendadak panas dan sejuk. Kedua pipinya bersemu merah dan terlihat sangat jelas.
"Lo siapa sih?"
"Ha?"
"Gue ngerasa kayak lo itu dekat banget sama gue."
"..."
"Dan... Kalau gak liat lo sehari aja, itu kayak ada yang kurang."
Lagi-lagi, pipi Varel berhasil dibuat merah oleh Revan. Pria itu sudah sangat kuat menahan rasa bahagianya saat ingatan Revan mulai kembali walau sedikit.
Tiba-tiba saja, Revan menyentuh tangan Varel. Ia menatap pria itu dengan seksama. Tanpa mengalihkan pandangannya sedikitpun darinya. Mencoba mencari tau siapa pria yang membuatnya merasa kesepian jika tidak melihatnya sedetik saja. Apa yang telah dilupakannya sampai pria ini bisa membuat ia sebahagia ini.
"Gue gak ingat sama sekali tengang lo."
Varel menyentuh tangan Revan. Ia menatap sendu pria yang sudah duduk di ranjang itu. Walaupun lagi sakit, wajah tampan dan memukau pria itu tak pernah hilang. Seperti memiliki sebuah pengawet dan membuat wajah itu tak akan bisa buruk. Sepertinya, Revan tak telat saat pembagian wajah tampan dahulu. Jadilah Varel mulai berpikir tidak jelas perihal tentang ketampanan kekasihnya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Addictive [end]
RomanceRanked: #1 - gaylove [6/25/2020] #1 - homo [7/20/20] [8/12/20] Dicintai oleh orang yang kita cinta itu bahagia ya. Tapi pernah gak sih liat orang yang sama-sama gak merespon, sama-sama bodoh amat, sama-sama cuek bisa jadi sepasang kekasih? Bukan...