Revan melemparkan tasnya ke sembarang tempat. Ia langsung menghempaskan badannya ke atas kasur. Ia menenangkan pikirannya dengan memejamkan matanya. Tak sengaja, bayangan Varel muncul di pikirannya. Seketika ia langsung membuka mata.
Tak tau mengapa, ia hanya penasaran dengan pria yang bernama Varel itu. Mengapa ia sama sekali tak kagum? Mengapa ia se-gak peduli itu dengan semua perlakuan Revan. Apa pria itu tidak menyukainya?
Revan beralih ke foto ibunya yang terbingkai rapi terletak di atas meja laci kecil yang ada di samping kasurnya. Ia raih foto itu lalu menatapnya. Wanita itu tersenyum membuat Revan ikut tersenyum.
"Ma," panggil Revan. Ia mengusap-udap foto itu dengan lembut.
"Revan lagi suka sama seseorang."
"Tapi, dia cowok ma, gakpapa kan?"
"Revan janji ma, kalau Revan berhasil dapetin dia, Revan gak akan nyianyain dia."
"Doain Revan ya ma, Revan lagi berjuang."
Revan menciun foto ibunya itu lalu memeluknya dengan lembut.
"Revan suka dia, ma."
Ucapnya terakhir sampai akhirnya dia terlelap.
***
Hari ini seperti biasa. Varel sedang dalam kelas karantina. Mengerjakan soal-soal olimpiade. Mode latihan soal mereka kali ini adalah sulit. Soal yang harus mereka kerjakan sebanyak 150 soal dalam waktu 1 jam.
Varel mengerjakan soal dengsn teliti. Ia sangat santai mengerjakan soal-soal fisika di depannya. Tangannya telaten menuliskan rumus-rumus yang ia sudah sangat hafal dengan jelas.
Setelah mereka selesai mengerjakan soal-soalnya, mereka pun bertukar lembar jawaban. Varel mengecek milik Lia, Lia mengecek milik Bara, dan Bara mengecek milik Varel.
Varel melihat jawaban Lia. Ia juga mengerti soal-soal matematika yang sekarang ia periksa itu.
"Ehm... Lia, ini bukannya harus make integral parsial ya?"
Lia yang tadinya fokus liat jawaban Bara langsung menoleh ke lembar jawabannya yang ditunjuk Varel.
"Oh iya, lupa. Makasih Rel," Lia memukul jidatnya.
"Hati-hati," peringat Varel.
"Hehe," Lia terkekeh. Ia kembali memeriksa jawaban Bara.
Mereka selesai memeriksa satu sama lain. Pak Ardito juga sudah mengumpulkan semua lembar jawaban mereka. Sebelum pulang, Pak Ardito memberikan arahan sebentar.
"Kalian tau kan minggu depan udah hari-h. Jadi bapak mau kalian fokus. Jaga kesehatan. Jangan kepikiran yang lain-lain. Minggu ini udah karantina terakhir kita. Jadi bapak minta kalian lebih serius lagi."
"Baik pak," jawab Varel, Bara dan Lia bersamaan.
"Oke, kalian boleh pulang."
Varel menyandang tasnya lalu beranjak dari kursinya. Lia permisi duluan karena dia sudah dijemput oleh ayahnya. Bara, sudah pasti pulang menggunakan motornya. Kalau Varel masih belum tau. Mungkin dia dijemput. Soalnya, belakangan ini ayahnya jarang menjemput dan ia terpaksa pulang bareng Yulia atau naik taksi.
Varel dan Bara sudah keluar dari ruangan kelas. Mereka mendapati Revan yang berdiri sambil bersandar di tiang di depan kelas. Mata mereka saling menembus segala sesuatu yang menghalang tatapan mereka. Membuat Varel sedikit bertanya kenapa pria itu berdiri di situ.
"Gue... Duluan ya Rel," pamit Bara.
"I.. Iya."
Bara meninggalkan Varel dan Revan yang kini saling tatap-tatapan di sana. Tak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut mereka sejak kepergian Bara. Sampai akhirnya Revan memotong jarak antara mereka. Kini jarak mereka sangat dekat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Addictive [end]
Roman d'amourRanked: #1 - gaylove [6/25/2020] #1 - homo [7/20/20] [8/12/20] Dicintai oleh orang yang kita cinta itu bahagia ya. Tapi pernah gak sih liat orang yang sama-sama gak merespon, sama-sama bodoh amat, sama-sama cuek bisa jadi sepasang kekasih? Bukan...