Heian-kyo, 1014 M
(Heian-kyo: nama ibukota Jepang Era Heian, Kyoto sekarang)
Kakinya melangkah tergesa. Menimbulkan bunyi geretak di sepanjang lantai berkayu yang dia lalui. Meskipun dengan pakaian sutra yang ujungnya terseret-seret, tak sedikit pun mengurangi kecepatan langkahnya. Pun dengan rambut hitam legam yang tergerai panjang semata kaki, tak dia hiraukan. Hatinya segera tak sabar untuk menemui pemuda yang tengah menjadi kekasihnya.
“Nona Mume, Anda dilarang menemui pemuda itu. Tuan Daijou-daijin akan murka jika beliau tahu,” pinta Yukiko yang sedari tadi mengikuti majikannya. Ada nada kekhawatiran yang keluar dari suara perempuan muda itu.
“Tenang saja, Yukiko. Aku jamin tidak akan ketahuan ayahku,” jawab Mume tanpa menoleh ke arah dayangnya. Dia yakin, saat ini ayahnya sedang melakukan pekerjaannya di istana.
Ayahnya, Fujiwara no Atsuyasu, adalah seorang bangsawan kelas atas yang memiliki jabatan tertinggi di sistem pemerintahan Ritsuryo, yaitu daijou-daijin—kanselir—yang memimpin seluruh jajaran departemen dan menteri yang ada di sana. Reputasi ayahnya, juga seluruh penyandang nama Fujiwara, sangat disegani di seluruh negeri. Merekalah yang memegang tampuk kekuasaan di pemerintah. Pun dari rahim-rahim wanitanya terlahir para kaisar yang akan naik takhta. Sebuah tradisi yang sudah turun-temurun selama beberapa abad ke belakang. Dan Mume juga tak terlepas dari adat itu.
(Ritsuryo: sebuah sistem hukum bersejarah yang berlandaskan pada filosofi Konfusianisme dan Legalisme Tiongkok di Jepang)
“Nona....” Panggilan Yukiko menggantung di udara saat dilihatnya Mume tiba-tiba berhenti.
“Ayahanda,” ujar Mume lirih ketika dia mendapati ayahnya yang mendadak muncul. Nyalinya seketika menciut, tatkala Atsuyasu mengguratkan wajah tegas nan mengeras.
“Mau ke mana kau?” tanya pria baya yang masih mengenakan sokutai dan topi kanmuri—set pakaian formal bangsawan laki-laki—dengan dingin.
Mume gelagapan. Dia hanya bisa menunduk sambil menutup mulutnya rapat-rapat. Perempuan bermata almon itu tidak menyangka bahwa ayahnya sudah kembali dari istana.
“Apa kau ingin menemui pemuda bernama Shirogane itu?” lanjut Atsuyasu geram. “Kau adalah calon permaisuri kaisar. Tidak pantas untuk pemuda yang asal-usulnya bahkan tidak jelas.”
Mume menggigit bibir bawahnya. Dia ingin memprotes segala keputusan ayahnya. Namun, apalah daya. Wanita adalah aset bagi kebanyakan keluarga di zaman ini untuk meningkatkan prestise dan status sosial. Dia tidak mampu melakukan apa-apa, meski ingin. Apalagi menyangkut pemuda itu, Shirogane, yang satu bulan ini menjadi tambatan hatinya. Ah, Mume jadi teringat dengan laki-laki yang tengah menunggu di depan kediaman keluarganya yang terletak di distrik Ukyo, Heian-kyo, hanya selemparan batu dari Daidairi—Istana Heian.
“Yoshizuki,” panggil Atsuyasu kepada seorang laki-laki yang berada di belakangnya.
“Ya, Tuan,” jawab laki-laki dengan sebilah tachi—pedang panjang—yang menggantung di pinggangnya.
“Bawa Mume ke ruangannya dan jangan izinkan dia untuk keluar,” titah Atsuyasu yang kemudian berlalu meninggalkan putrinya beserta Yoshizuki dan Yukiko.
Mume tampak tidak suka ketika Yoshizuki memintanya untuk kembali. Wajah cantiknya merengut kesal tatkala pemuda bertubuh tegap itu menggiringnya untuk kembali. Langkah kakinya yang semula riang, berubah mengentak-entak. Mata almonnya memicing ke arah Yoshizuki yang terus menundukkan pandangan. Mulutnya sudah gatal untuk memprotes segala hal. Akan tetapi diurungkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Return Of The Plum Blossoms [END]
FantasySemenjak tersesat di hutan dan menemukan pohon prem tua, tubuh Sayo bergerak tidak sesuai dengan keinginannya. Mahasiswi pascasarjana ini bahkan mulai mendapatkan ingatan seorang wanita bangsawan yang hidup di Era Heian-Mume. Celakanya, roh Mume yan...