9. Jamuan Istana

11 1 0
                                    

Aroma teh kamomil menguar memenuhi segala sudut ruangan—pada salah satu kondominium di area Umeda—saat tangan berkeriput itu menuangkannya ke dalam cangkir porselen. Memikat penghidu pria bermata sipit dengan iris sewarna arang yang kini tengah duduk menyilang kaki di ujung sofa. Sebelah tangannya tertumpu pada pinggiran kursi tersebut, menopang dagu. Bibir tebal merah mudanya terus melengkungkan senyum. Ditambah kibasan kesembilan ekor berbulu putih yang meliuk-liuk riang di belakangnya.

“Tampaknya Anda sedang sangat bahagia, Tuan Morikawa,” ucap Sojiro ikut merekahkan seulas senyum. Pandangannya selalu takjub tatkala tuannya itu mengeluarkan ekor-ekornya, meskipun ini bukan yang pertama kali dia lihat. Gin akan menampakkan anggota tubuhnya tersebut dalam keadaan tertentu; jika dia sedang ingin meluapkan ekspresinya secara sengaja atau tidak.

“Sudah lama saya tidak melihat Anda mengeluarkan kesembilan ekor Anda,” lanjut Sojiro. Tangannya kini memindahkan cangkir porselen berisi teh kamomil yang telah diseduhnya kepada Gin. “Apa ada hal menarik yang terjadi?”

“Rasanya aku hampir lupa dengan perasaan berdesir-desir ini, Harada,” jawab Gin. Di dekatkan mulut cangkir ke bibirnya. Menghirup uap beraroma kamomil yang menenangkan itu, sebelum mengecap rasanya.

“Saya penasaran siapa dia?” tanya Sojiro lagi. Tubuhnya kembali tegak, kemudian menempatkan diri untuk duduk di seberang Gin.

“Kau ingat Kobayashi?” tanya Gin.

Sojiro sesaat terdiam, memikirkan sesuatu sebelum menjawab, “perempuan yang datang bersama Keisuke-kun itu?”

Gin mengangguk. Meletakkan kembali cangkir ke atas cawan. “Ada hal aneh yang aku rasakan tentang dia.”

Sojiro mengulum senyum. Tidak biasanya Gin yang telah dikenalnya hampir setengah abad itu bercerita tentang seseorang, apalagi perempuan. Pria yang sudah dipenuhi uban di rambutnya tersebut tahu bahwa Gin sering tidur bersama wanita-wanita demi mendapatkan energi mereka. Namun, lagi-lagi Sojiro tidak pernah tahu siapa saja.

“Hm, ya. Dia perempuan yang menarik,” komentar Sojiro. “Saya baru pertama kali melihat perempuan yang menolak Anda dan mengancam akan melaporkan kepada polisi.” Sojiro terkekeh geli.

“Bukan hanya itu saja, Harada,” sanggah Gin. Pandangannya sedikit menerawang. “Tatapan matanya itu, aku yakin pernah mengenalnya dulu.”

“Begitukah?”

“Meskipun wajahnya tidak sama, tapi aku yakin itu dia. Mata itu. Aromanya. Entah bagaimana hal itu bisa terjadi.” Pandangan Gin sedikit berkabut. Hatinya tiba-tiba perih. Dia menutup kelopak matanya. Mengenang sebuah peristiwa.

***

Daidairi, Heian-o, 1014 M

Halaman utama istana telah berhias. Semarak dengan berbagai umbul-umbul aneka rona yang dipasang. Sebuah panggung kayu berpelitur merah dan hijau yang cukup besar telah disiapkan; menghadap langsung ke arah bangunan yang menjadi kediaman kaisar. Sepasang tambur berukuran raksasa—yang disebut daidako—terpasang di kedua ujung sisi. Satu di sebelah kiri dengan ornamen naga, matahari, dan emas. Sedangkan di kanan dirancang dengan phoenix, bulan, dan perak.

Enam belas pria dengan kostum berwarna cerah mulai memasuki panggung dengan berjingkat dan sedikit menekuk lutut. Masing-masing bersiap di posisi mereka. Berbagai alat musik sudah berada dalam genggaman. Menunggu aba-aba untuk memulai pertunjukan.

Para bangsawan berpangkat tinggi juga telah duduk takzim di tempat dengan pakaian-pakaian terbaik mereka. Sutra-sutra dengan tenunan halus membentuk warna dan berbagai pola sesuai tingkatan masing-masing. Topi kanmuri pun menjadi pelengkap penampilan.

Return Of The Plum Blossoms [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang