22. Kuil Purnama

4 0 0
                                    

Gin harusnya sudah tahu betul bahwa perempuan yang kini ada di hadapannya—memandang dengan senyum menyeringai—adalah Mume. Memang sedikit terlambat menyadari jika roh wanita tersebut kembali berhasil menguasai tubuh Sayo dan menyamar sangat sempurna dengan meniru segala tingkahnya. Namun, pada akhirnya dia bisa menghindari Mume yang tiba-tiba saja menyerang.

Siluman rubah itu berdecak sekali lagi. Masih tidak menyangka dirinya bisa tertipu. Mume sepertinya sudah belajar banyak tentang Sayo berikut bahasa tubuhnya.

“Kau mengambil alih lagi kesadaran dan tubuh Sayo. Bagaimana bisa?” tanya Gin dengan gigi-gigi yang bergeretak.

“Tentu saja hal itu tidaklah sulit,” jawab Mume diselingi seringai lebar. “Kalian yang membuatnya menjadi begitu mudah untukku. Kau dan titisan Yoshizuki itu.”

Gin mengeratkan rahangnya. “Apa maksudmu?”

“Semua lelaki sama saja; lebih mementingkan ego. Membuatku muak.”

Sayo terjebak emosi setelah mendengar penuturan Keiko bahwa Keisuke-lah yang memberitahu soal pohon prem di Hutan Kumano. Entah apa maksud dari laki-laki itu. Namun yang jelas, kegamangan Sayo berhasil dimanfaatkan oleh Mume yang langsung mengambil alih tubuhnya.

Mume mengeluarkan cakar-cakarnya dan kembali bergerak. Dia merangsek ke arah Gin yang kemudian mundur beberapa langkah. Meski dia berhasil menebas beberapa helai rambut kitsune itu, tetapi gerakan Gin masih cukup gesit.

“Apa kau tidak ingat tempat apa ini, Suamiku?”

Tentu saja Gin masih mengingatnya. Di sini adalah tempat pertama yang mereka singgahi kala melarikan diri dari Kyo. Tidak ada satu detik pun dalam umur panjangnya yang bisa melupakan kenangan tentang Mume, termasuk rasa penyesalan yang dia tanggung seumur hidup.

“Untuk apa kau mengajakku ke sini?” tanya Gin dengan suara penuh penekanan.

“Bernostalgia tentu saja,” jawab Mume disertai seringai yang tak lepas dari kedua bibir.

“Omong kosong.”

“Aku tidak membual. Aku hanya ingin mengambil nyawamu sambil mengenang masa-masa indah kita berdua. Bukankah itu hal yang menyenangkan?” Penuturan Mume terdengar begitu santai.

“Aku tidak akan menyerahkan nyawaku begitu saja.”

“Kenapa? Apa kau tak ingat pernah mengatakan untuk hidup bahagia dan saling mencintai selamanya denganku?”

Gin terdiam. Dia mengeratkan kedua rahangnya. Tidak. Dia juga tidak pernah melupakan hal itu. Semua hal tentang Mume terpatri secara tetap di benaknya seolah sebagai sebuah kutukan. Terus membayanginya dalam penyesalan.

“Kalau begitu, kenapa kau tidak menepati janjimu saat ini? Mari kita hidup bersama di akhirat.”

Tanpa menunggu balasan dari Gin, Mume langsung melayangkan cakaran secara bertubi-tubi. Kekuatan Mume yang bertambah karena emosi dari Sayo, cukup jauh di atas jika dibandingkan dengan Gin yang sudah lama tidak menyerap energi manusia. Membuat pertarungan itu terasa tidak seimbang.

Gin mengubah wujud aslinya guna menekan energi yang dia dibutuhkan. Akan tetapi, secepat apa pun dia berusaha menghindar, Mume terlihat lebih gesit dari dirinya. Sampai akhirnya, pada satu serangan, roh pendendam itu berhasil mengambil bola bintang milik Gin.

“Aku penasaran apa yang akan terjadi jika bola ini aku hancurkan?” ujar Mume sembari memegang benda bersinar keperakan itu dengan senyum penuh kemenangan.

Gin bergeming dengan napas yang terengah-engah. Sepasang mata arangnya menatap nanar pada tubuh Sayo yang kini dikendalikan oleh Mume. Dia benar-benar tidak bisa menyerangnya begitu saja, sebab tubuh Sayo juga akan terkena dampaknya.

Return Of The Plum Blossoms [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang