24. Cinta Seribu Tahun [END]

13 1 0
                                    

Aroma dashi yang menggugah selera. Terhidu samar oleh indera penciumannya, membuat gadis yang sedang terbaring di atas ranjang itu mengerutkan dahinya. Matanya yang tengah terpejam, perlahan terbuka. Ditatapnya langit-langit kamar yang cukup familier baginya hingga lipatan di keningnya bertambah dan semakin dalam. Samar juga tertangkap oleh telinganya, suara didih kaldu juga pisau yang sedang memotong sesuatu.

(Dashi: kaldu yang menjadi bahan dasar hidangan khas Jepang dan mengeluarkan rasa umami/gurih, biasanya terbuat dari rumput laut dan ikan cakalang)

“Apakah aku masih hidup?” bisiknya. Sebuah pertanyaan yang ditujukan kepada dirinya sendiri.

Gadis berambut jelai itu berusaha menggerakkan tubuhnya. Meskipun masih sedikit meninggalkan jejak sakit, tetapi dia sudah merasa jauh lebih baik sekarang. Bahkan tatkala dia mencoba untuk menjejakkan kaki tanpa alasnya di atas lantai, badan tersebut terasa ringan.

Masih berdiri di tengah ruangan serba abu-abu. Sayo, berusaha mengumpulkan ingatannya. Hal terakhir yang terlintas di memorinya adalah dirinya yang hampir mati saat ritual pemisahan antara raganya dengan jiwa Mume yang dilakukan Keisuke. Ah, seharusnya dia sudah meninggal, bukan? Akan tetapi, pada kenyataannya dia masih hidup.

Apa yang terjadi sebenarnya?

Sayo berjingkat, menuju daun pintu yang setengah terbuka. Pelan dia membentangkan penutup ruangan tersebut lebih lebar. Sepasang matanya dapat menangkap bayangan punggung lebar yang amat dikenalnya, sedang mahsyuk dengan kegiatan paginya; memasak.

Mendadak wajahnya tersipu. Semburat merah muda terlukis samar di kedua pipinya. Lamat-lamat otaknya memutar kembali ingatan yang terjadi seusai jiwa Mume terlepas darinya. Apa yang dia ucapkan kepada pria itu—Keisuke, membuatnya ingin menenggelamkan diri saja.

“Apa kau akan terus menatap punggungku seperti itu?” tanya Keisuke tanpa membalikkan tubuhnya, membuat Sayo menggeragap.

Laki-laki itu mematikan kompor, lalu menuangkan sup miso yang baru saja dimasaknya ke dalam mangkuk. Tubuhnya berbalik, meletakkan wadah porselen tersebut ke atas meja makan. Sudah terhidang di sana, set sarapan tradisional; nasi putih hangat, makerel panggang, sup miso dengan tahu sutra, juga acar lobak putih. Semuanya tersaji begitu menggiurkan.

“Duduklah. Kau butuh makan untuk mengisi tenagamu kembali,” perintah Keisuke sambil melepas apron dan menggantungnya di dekat lemari pendingin.

Sayo termangu di tempatnya. Masih dengan perasaan sedikit kikuk, dia mulai mengayunkan tungkai perlahan ke meja makan berpelitur serba putih. Menarik sebuah kursi, lalu duduk di atasnya dengan punggung tegap.

Keisuke mengerutkan kening. Bahasa tubuh yang ditunjukkan Sayo membuatnya sedikit gusar. “Apa kau sudah merasa baikan, Kobayashi-san?”

Sayo mengangguk kaku seperti lehernya sedang terbebat kayu. Semuanya bagai deja vu. Dia yang tiba-tiba terbangun pada pagi hari di sana, dan Keisuke yang memasak sarapan. Dia yang mendadak salah tingkah karena ucapannya kepada kakak sahabatnya tersebut yang telah lalu. Bedanya, kali itu mulutnya dengan lancang mengucapkan kata suka; di saat-saat yang dia kira sebagai penghujung waktunya.

Keisuke sedikit mendesah lega melihat anggukan yang diberikan Sayo. Pun saat gadis itu mengambil sumpit, lalu menangkupkan tangan seraya mengucapkan selamat makan. Sepertinya, dia sudah terlihat lebih baik. Bahkan laki-laki tersebut bisa kembali melihat rona cokelat semakin menguar dari tubuhnya—yang sebelumnya berwarna abu-abu menuju ke hitam. Menandakan bahwa jiwanya telah kembali pada kewajaran.

Sensei, apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Sayo tiba-tiba di sela-sela sarapan. Dia tidak mampu menyembunyikan rasa penasarannya lagi. Gadis itu kemudian menaruh sumpit dalam genggamannya ke atas hashi-oki—sandaran sumpit—yang terletak di sebelah kanan mangkuk sup. “Bukankah seharusnya aku sudah mati?”

Return Of The Plum Blossoms [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang