5. Keluarga Honomi

18 3 0
                                    

Katata, Provinsi Omi, 1014 M

Purnama baru saja terbit dari ufuk timur, di balik hamparan Pegunungan Suzuka yang tampak samar di kejauhan. Cahaya keemasannya membias ke atas gelapnya permukaan air Danau Biwa. Menimbulkan kerlip kilau dalam riak tak berkesudahan. Pun sinarnya tak luput memandikan pucuk-pucuk daun Pinus Jepang yang tumbuh sepanjang tepian.

Sepasang muda-mudi tampak duduk bersisian. Tangan keduanya saling menggenggam. Kepala Si Gadis terkulai di atas bahu lebar Si Pria; mencari sebuah kenyamanan. Mereka sedang merayakan kebebasan dengan menikmati rembulan di sebuah bangunan kuil yang dibangun tepat di atas air; menjadikannya bagai mengapung.

“Ini adalah salah satu tempat  kesukaanku. Purnama selalu terlihat begitu cantik dari sini,” lirih gadis bermata almon dan mengenakan jubah junihitoe. Rambutnya yang panjang legam terjalin rapi di belakang dengan seutas kain putih.

“Bukankah itu sebabnya kuil ini dinamakan sebagai Kuil Mangetsu—bulan purnama?” timpal Si Pria seraya membelai puncak kepala Sang Gadis.

Mume mengangguk. Kepalanya kembali terbenam dalam dekapan Shirogane. Hatinya sungguh riang. Bahagia sebab kini bisa menikmati kebebasannya, setelah kemarin malam mereka berhasil kabur berkat bantuan Yoshizuki.

“Tapi ada yang lebih cantik dari rembulan di Katata, yakni kau,” ujar Shirogane. Jemarinya terulur, mengangkat dagu Mume agar menghadap ke arahnya. Sebuah sajak mulai dia senandungkan. “Bulan di Biwa. Malu mendera rasa. Pada sang bunga. Detak cinta membara. Luluh lantakkan angan.”

Mume tersipu. Lagi-lagi semburat merah muda muncul di kedua pipi selembut kapas miliknya tanpa bisa dicegah. Lengkungan lebar terbentuk dari kedua bibir yang kini tersapu oleh hangatnya pagutan mesra Shirogane. Jantungnya berdebar kencang acap kali pemuda pujaan hatinya tersebut melakukan sebuah rayuan. Bagaimana mungkin dia bisa mengelak dari pesonanya yang di luar batas?

“Apakah kau akan menyesal telah pergi bersamaku, Nona Mume?” tanya Shirogane kemudian sesaat setelah melepaskan dekapannya. Dipandanginya kembali wajah jelita Mume yang lebih menarik daripada rembulan yang menggantung di atas sana.

“Entah. Aku tidak tahu ke depannya seperti apa, apakah aku akan menyesalinya atau tidak. Akan tetapi, yang pasti ini adalah keputusanku. Apa pun yang akan terjadi kelak, kau akan tetap berada di sisiku, kan?” balas Mume.

Jujur, dia masih bingung akan nasibnya kini. Gadis itu teramat yakin bahwa Atsuyasu akan murka dan mencarinya hingga ke pelosok negeri. Juga ada sedikit kekhawatiran yang timbul tentang keadaan Yoshizuki yang telah membantunya kini.

“Kita akan selalu bersama-sama. Akan aku pastikan itu.” Shirogane menatap dalam mata gadis bangsawan tersebut. Berusaha menyalurkan sebuah perasaan yang ada di hatinya.

Mume melengkungkan senyum. Keindahan purnama di Kuil Mangetsu—tepi Danau Biwa—seolah tak sepadan dengan rasanya yang tengah bermekaran. Gadis itu lupa bahwa konsekuensi berat harus dia terima di kemudian hari.

“Ayo kita hidup bersama. Di tempat yang jauh dari Kyo. Hidup saling mencintai selamanya,” ucap Shirogane dengan suaranya yang dalam dan berat. Mata kecil nan tajam itu pun menatap ke dalam mata Mume. Berusaha memberikan sebuah keyakinan hingga gadis tersebut melayangkan anggukan.

(Kyo: ibukota, dalam cerita ini mengacu pada Heian-kyo, atau Kyoto saat ini)

***

Minoo, Prefektur Osaka, 2020 M

Sayo masih menoleh ke belakang. Mematung. Menatap jejak bayangan punggung yang tertinggal oleh Gin. Kedua bola matanya terbelalak seakan tak percaya pada penglihatannya. Semua mimpi episodik itu kini terpampang jelas bagai kaset lama yang terputar ulang di otaknya.

Return Of The Plum Blossoms [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang