20. Puisi Kenangan

4 0 0
                                    

Komplek pemakaman itu berada tidak jauh dari sebuah kuil Buddha. Terletak pada puncak salah satu bukit dalam barisan Pegunungan Hira, membuatnya memiliki pandangan langsung ke Danau Biwa dari ketinggian. Terlihat menakjubkan dengan birunya air yang telihat sepanjang mata.

Di depan salah satu makam, kucuran air dari gayung bambu membasahi salah satu nisan yang berlapis pasir granit dengan ukiran nama marga Kobayashi. Beberapa tangkai krisan putih diletakkan pada vas kecil yang disediakan di sisinya, juga dupa yang telah disulut menebarkan aroma wangi yang khas.  Berbagai hidangan dan sake sudah tertata rapi di depan batu kubur itu.

(Sake: arak Jepang yang terbuat dari beras yang diberi ragi)

Chie khusyuk berdoa untuk mendiang suaminya. Wanita baya itu bahkan memejamkan mata. Entah apa yang didoakannya. Sedangkan Sayo hanya mengikuti apa yang dilakukan ibunya tanpa menutup kelopak matanya. Gadis tersebut terlihat sedikit enggan melakukannya.

Sayo belum bisa memaafkan sepenuhnya perbuatan Sang Ayah. Meski dia sangat mencintai dan merindukannya, tetapi hatinya selalu terasa sakit kala mengingat apa yang dilakukan pria itu pada ibu dan dirinya. Dia juga sebenarnya heran, kenapa Chie masih saja menganggapnya sebagai suami.

“Suamiku, apa kau tahu? Kali ini Sayo pulang bersama seorang laki-laki. Anak kita sudah dewasa sekarang,” tutur Chie saat membuka kembali matanya. Ada senyum tipis yang terukir di bibir berpoles lipstik merah.

Sayo mendengkus sedikit kesal. Dia menyelipkan anak-anak rambutnya yang diterbangkan angin ke belakang telinga. Kepalanya kemudian berputar ke belakang. Berdiri elegan di sana, beberapa meter dari mereka, Gin dengan setelan kemeja dan celana hitam. Warna sama yang dikenakan oleh dia dan ibunya.

Ibunya berpikir bahwa Gin adalah kekasihnya. Saat sampai satu jam lalu, wanita baya dengan rambut panjangnya yang sudah ditumbuhi beberapa helai uban itu terkejut. Tatkala Chie membukakan pintu rumah dan mendapati putri semata wayangnya pulang bersama seorang pria yang memiliki paras rupawan dengan penampilan rapi menawan—yang dia taksir berumur hampir empat puluh tahunan.

Bukan hanya itu yang membuatnya memicingkan mata, tetapi juga saat dia melihat beberapa luka yang terdapat di wajah anaknya. Rentetan pertanyaan pun hampir dilontarkan Chie kepada Sayo, jika saja gadis tersebut tidak berkelit bahwa mereka harus segera menjenguk ayahnya di makam.

Kemudian, kesempatan bertanya itu datang setelah mereka sudah kembali ke rumah. Chie sengaja menarik Sayo untuk membantunya menyiapkan makan siang di dapur. Jauh dari pandangan dan pendengaran Gin yang tengah duduk bersila di atas zabuton ruang santai sambil membuka-buka sebuah album foto lama.

Hal pertama yang menjadi perhatian Chie tentu saja mengenai bekas sayat dan garutan di wajah Sayo yang tidak mampu dia sembunyikan—hanya ditutupi oleh plester luka. Gadis itu pun berbohong dengan mengatakan dirinya tidak sengaja terpeleset di tangga gedung apartemen. Dia tidak mungkin menceritakan semuanya kepada Sang Ibu yang sudah dipastikan tidak akan percaya kisah tak masuk akal yang sedang dialaminya.

Sayo sendiri masih tidak menyangka bahwa dirinya terlibat hal-hal aneh di luar nalar tersebut. Kehadiran roh pendendam yang dia temui di hutan Kumano dan merasuki tubuhnya; Gin yang sejak awal dia curigai sebagai kitsune—tapi ditepisnya; Keisuke yang ternyata memiliki profesi lain sebagai dukun selain akademisi—sesuatu yang bertolak belakang; hingga mendapati fakta legenda tentang Mume yang tak seindah yang diceritakan oleh Keiko. Semua itu terasa seperti mimpi buruk yang dia harapkan akan segera berakhir. Agar perempuan bermata segelap malam itu bisa menjalani kehidupan normalnya kembali.

“Apa dia tidak terlalu tua untuk menjadi pacarmu, Sayo?” tanya Chie setengah berbisik saat gadis berambut pendek itu tengah membalik potong belut di atas panggangan.

Return Of The Plum Blossoms [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang