14. Bunga Api

2 0 0
                                    

Yuka tidak menyukainya. Gadis dengan yukata biru bermata sepekat malam itu. Wajahnya yang tidak terlalu cantik dan ekspresinya yang selalu terlihat tegas benar-benar memuakkan baginya. Belum lagi sikapnya yang dingin dan angkuh, semakin membuatnya tampak sok kecantikan.  Yuka pun tidak habis pikir, kenapa Gin begitu tertarik kepadanya.

Saat dia berusaha menarik perhatian Gin, justru Sayo yang mendapatkannya. Bahkan semua hadiah-hadiah itu akhirnya menjadi miliknya. Membuatnya kesal setengah mati. Padahal dia sudah sangat bahagia bisa bertemu dengan pria yang selalu disukainya itu di antara jutaan manusia di sini seperti sebuah takdir. Apalagi sudah hampir dua bulan Gin tidak menghubunginya sama sekali.

Rasa cemburu telah membakar hati. Sepertinya dia harus memberikan sedikit pelajaran kepada gadis itu. Maka Yuka pun menyusun sebuah rencana. Sungai Okawa yang tenang telah memberikannya inspirasi. Maka, diajaklah Sayo berpisah dari rombongan teman-temannya dengan dalih mencari toilet umum.

Mereka berdua pun melangkah menyisiri jalan berblok tepat di pinggiran sungai dengan birai yang membatasi antara daratan dan air. Suara letusan masih terdengar menggema dari seluruh sudut. Menjadi peningkah sunyi yang terjadi di antara mereka berdua. Yuka masih mengajak Sayo berjalan hingga ke bawah Jembatan Genpachi yang sedikit tersembunyi dari pandangan orang-orang yang sedang sibuk melihat bunga-bunga api di langit malam.

“Kobayashi,” panggil Yuka saat menghentikan langkahnya mendadak, membuat Sayo juga ikut berhenti. “Kau dekat dengan Morikawa-san, ya?”

“Tidak juga,” jawab Sayo seraya mengangkat bahu.

“Benarkah? Tapi sepertinya Morikawa-san menyukaimu,” sahut Yuka. Dia masih berusaha memasang senyum di wajahnya, menahan amarah di dadanya.

Sayo hanya bergumam. Gadis itu tidak tahu apa yang harus dia katakan. Lagi pula pertanyaannya tidak membutuhkan jawaban.

“Apa kau menyukainya?” tanya Yuka kembali.

“Kenapa tiba-tiba kau bertanya hal itu?” selidik Sayo.

Wajahnya mendadak pasi tatkala Yuka mengubah ekspresinya. Sebuah benda tajam kecil keluar dari tas yang dibawa perempuan berambut pirang itu. Sayo menelan ludahnya. Jantungnya mulai berdegup tak beraturan saat dingin pisau lipat menyentuh halus kulit pipinya.

“Kau benar-benar merasa cantik, ya?” geram Yuka dengan suara yang berat. “Apa aku perlu menambah kecantikan itu?”

Sayo memundurkan langkahnya, berusaha menghindar dari jangkauan Yuka. Akan tetapi, Yuka tetap merangsek ke arahnya hingga punggungnya membentur birai. Kini gadis ber-yukata biru itu dalam kungkungan Yuka. Sayo menjauhkan wajahnya dari perempuan yang hendak membuat goresan pada wajahnya.

“Kau takut, ya?” geram Yuka. Seringai itu bertambah lebar. Menampilkan deretan giginya yang membentuk lengkungan mengerikan.

Yuka semakin menekan ujung pisau itu di ke pipi Sayo. Membuat sebuah tusukan kecil yang mengalirkan darah segar. Napas Sayo semakin memburu.

“Apa maumu?” tanya Sayo tercekat. Perih di kulitnya tak dia rasakan. Berganti rasa takut yang mendadak menyelimutinya.

“Aku ingin kau enyah,” bisik Yuka.

Dalam hitungan detik, Yuka dengan kuat mendorong tubuh Sayo yang langsung terjungkal karena tidak siap menerima kejutan itu. Tubuh kecilnya tercebur ke dalam air yang dingin. Tangannya sempat menggapai dinding sungai. Menyembulkan kepalanya yang basah sesaat. Namun, hal aneh mulai dia rasakan.

Ada yang menarik kakinya di bawah sana. Sekuat apa pun dia berusaha, tarikan itu semakin kuat seolah ingin menenggelamkannya. Kepungan air dingin mulai menyelimuti seluruh tubuhnya, membuatnya harus menahan napas. Dalam kegelapan yang samar, dia melihat sosok yang telah menarik kakinya ke bawah air. Matanya terbeliak. Dia tidak mungkin salah lihat.

Return Of The Plum Blossoms [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang