4. Sang Kitsune

33 3 0
                                    

Sepasang mata kecil dengan iris berwarna arang tersebut menatap keluar jendela kaca pada salah satu hotel bintang lima di jantung Kota Osaka. Pandangannya tajam, menerawang permukaan air Sungai Yodo yang tertimpa cahaya mentari di awal musim panas; berkilauan jernih laiknya segelas sampanye yang berada dalam genggamannya. Sedikit memutarnya, sebelum ujung bibir tebalnya menyentuh mulut gelas dan meneguk sari anggur itu secara perlahan.

“Bukankah masih terlalu pagi untuk menikmati segelas sampanye, Morikawa-san?” tanya sebuah suara yang terdengar cukup manja, tapi merdu ketika sampai di telinganya.

Morikawa Gin—nama pemilik sepasang mata yang menatap Sungai Yodo tersebut—bergeming ketika merasakan kedua lengan seputih susu tiba-tiba melingkari pinggangnya dari belakang. Punggung telanjangnya menghangat sebab dekapan seorang wanita yang telah dia tiduri semalam. Bahkan pria itu bisa merasakan embusan napas yang menerpa kulitnya.

“Tidak ada yang lebih menyenangkan bagiku daripada minum setelah peristiwa indah semalam,” ujar Gin setelah minuman beralkohol itu meluncur dari kerongkongan menuju lambungnya.

“Kau berkata seolah-olah tidak pernah melakukannya saja,” decak Yuka sembari menahan kuap.

Gin menyeringai. Dilepaskan dekapan Yuka kemudian memutar tubuh wanita itu menghadapnya. “Kalau kau masih lelah, tidurlah kembali,” ucapnya seraya menyisipkan urai rambut Yuka ke belakang telinga.

Yuka mengangguk. Menuruti perintah Gin kembali ke atas ranjang dengan selimut yang masih berantakan. Siapa juga yang tidak lelah jika semalaman suntuk mereka bergumul hingga subuh menjelang.

“Apa kau akan segera pergi lagi?” tanya Yuka sebelum menutupi tubuhnya kembali dengan selimut.

“Seperti biasa,” jawab Gin pendek sambil menyunggingkan senyum termanisnya.

“Selalu saja begitu. Kau hanya menghubungiku jika ada maunya saja,” protes Yuka.

“Kau tahu, bukan, bahwa aku tidak bisa berhubungan dengan wanita lebih dari sekadar partner tidur.”

Yuka kembali ingin membuka mulutnya. Namun urung dan memilih untuk memejamkan mata. Toh, dia juga tidak keberatan sama sekali dengan status mereka.

Sepasang mata Gin kembali menatap kaca jendela. Kali ini bukan Sungai Yodo yang menarik atensinya. Melainkan bayangan tubuhnya sendiri yang samar terpantul dari permukaan bening tersebut. Sebuah seringai terpasang di bibirnya tatkala dia melihat wujud asli dirinya. Wajah kecil berbulu keperakan dengan mata menyerupai garis. Sembilan ekornya terkibas anggun di belakang seirama dengan helaan napasnya.

Gin menenggak lagi sisa sampanye di gelasnya. Dirinya kembali merasa segar setelah menyerap energi kehidupan milik Yuka; sesuatu yang dia butuhkan untuk bisa bertahan hidup di tengah-tengah manusia. Juga membuatnya tersamar. Tak mudah dikenali sebagai makhluk supernatural yang mereka sebut sebagai kitsune.

***

Sebuah sedan mewah tengah membelah Jalan Midosuji. Warnanya hitam mengkilap tertimpa cahaya matahari di awal musim panas Kota Osaka. Mobil itu melintas dengan kecepatan sedang. Melewati pusat perbelanjaan papan atas dengan butik-butik mahalnya juga hotel-hotel berbintang yang bertaburan di sepanjang jalan yang menghubungkan wilayah Namba di sebelah selatan dan Umeda di utara. Barisan pohon ginkgo yang berjajar rapi—masih menghijau—menjadi peneduh pejalan kaki di sepanjang pedestrian.

Sepasang mata arang dibalik kaca kursi penumpang sedan itu menatap jejeran pertokoan mewah. Sudut bibir kirinya sedikit terangkat, menampilkan sebuah seringai. Teringat olehnya bahwa kurang dari satu setengah abad lalu, jalan ini hanya sebuah jalan kecil beralas tanah. Waktu telah mengubah segalanya. Bahkan wajah kota ini telah berganti rupa.

Return Of The Plum Blossoms [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang