Udara malam nan lembap di musim panas tiba-tiba berubah menjadi menyejukkan. Angin sepoi bertiup halus menerpa kulit-kulit yang tiada perlindungan. Langit cukup cerah, dengan hiasan bulan separuh berselimut awan tipis yang menggantung di sana. Meski tanpa bintang yang tampak karena polusi cahaya, ia tetap menampilkan keindahannya walau tak paripurna.
Di bawah bayang-bayang lampu jalan, tubuh mereka saling berhadapan. Hampir tidak ada jeda yang memisahkan. Kedua tangan Sayo masih menggenggam erat kemeja laki-laki berusia tujuh tahun lebih tua darinya itu. Dia mendongak. Berusaha untuk menatap wajah Keisuke yang lumayan tampan. Mencari binar matanya yang diam-diam selalu berkelebatan di pikiran gadis tersebut.
Entah Keisuke harus menyebutnya sebagai keberuntungan atau tidak. Sayo yang dalam keadaan normal akan terlihat menjaga jarak darinya, kali ini justru yang mengikis jeda. Pria itu bahkan bisa menghidu aroma alkohol yang cukup pekat menguar dari tubuh gadis tersebut.
“Aku sama sekali tidak pernah membencimu, Keisuke-san. Sama sekali tidak pernah,” ucap Sayo sembari menggelengkan kepala kuat-kuat. “Setiap kali melihatmu, aku selalu teringat dengan ayahku yang sudah meninggal. Kalian begitu mirip.”
Keisuke menelan ludahnya. Wajah sayu dengan tatapan nanar Sayo membuat tubuhnya bereaksi. Dia merasakan panas yang menjalari seluruh bagian fisiknya. Jantungnya juga tiba-tiba memompa darah lebih cepat. Pun udara di sekitar yang tiba-tiba menyesakkan.
“Hanya saja ayahku kemudian mengkhianati kami. Dia pergi dari rumah dan tinggal bersama selingkuhannya.” Kini ada sebulir air yang menggenang di sudut matanya. Sayo terisak. Dibenamkan kepalanya di atas dada Keisuke yang bidang hingga gadis itu mampu mendengar suara detak jantung berdegup kencang. Membuatnya sedikit merasa nyaman. “Aku tidak ingin bernasib sama seperti ibuku.”
Keisuke meraih punggung Sayo, menepuk-nepuknya pelan. “Aku adalah orang yang setia,” ucap Keisuke meyakinkan.
Tentu saja hal itu bukan bualannya semata. Dia sudah menyukai Sayo sejak gadis itu berteman dekat dengan adiknya. Jauh sebelum dia lulus penilaian dan menjadi kepala lektor. Selama itu, dia tidak pernah melirik perempuan lain. Matanya pun hanya tertuju kepada satu orang.
“Aku butuh waktu untuk benar-benar bisa menerimamu.” Sayo semakin menyurukkan kepala. Mencari sebuah kenyamanan pada diri laki-laki itu—yang dia yakini tidak akan berani dilakukan dalam keadaan normal. Bahkan cara Keisuke memenangkan isaknya mirip dengan Sang Ayah.
“Kau boleh membuktikannya, Sayo-chan,” bisik Keisuke seraya mengeratkan pelukannya.
“Bahkan caramu memanggilku mirip ayah,” gumam Sayo.
Keisuke tidak mampu lagi menahan senyumnya. Perasaannya membuncah. Bukankah orang yang mabuk selalu berkata jujur dan apa adanya?
“Keisuke-san, apa kau mau terus bersabar menungguku?” tanya Sayo sambil mengangkat kepalanya. Kembali mata mereka beradu dalam jarak dekat.
Keisuke mengangguk pelan. Kedua telapaknya menangkup wajah kemerahan Sayo yang masih dalam pengaruh alkohol. “Tentu saja.”
Gadis berambut pendek itu pun membalas senyuman Keisuke. Untuk saat ini dia ingin jujur. Tidak ada lagi yang mau dia tutup-tutupi. Keberaniannya sedang meningkat karena dua botol bir yang diteguknya. Entah bagaimana besok. Mungkin dia sudah lupa.
“Keisuke-san, aku menyu—”
Belum sempurna kalimatnya, perut Sayo tiba-tiba terasa seperti diaduk-aduk. Pusing di kepalanya juga semakin tak tertahan lagi. Hingga akhirnya seluruh isi lambungnya keluar, tumpah bersamaan dengan kesadaran yang hilang sepenuhnya.
***
Kakinya melangkah tersaruk. Guguran kelopak bunga berwarna putih berserakan di atas tanah yang dia pijak. Matanya menebar ke sekeliling. Pepohonan beranting kurus nan tipis tanpa daun, hanya berhias kesuma yang beraroma sedikit manis menembus saraf sensorisnya. Sayup terdengar lewat telinganya, petikan dawai yang menggema dari segala penjuru. Sebuah lagu sendu yang cukup menyayat jiwa. Semakin lama, bunyi tersebut semakin mengeras dan membuatnya bergegas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Return Of The Plum Blossoms [END]
FantasiaSemenjak tersesat di hutan dan menemukan pohon prem tua, tubuh Sayo bergerak tidak sesuai dengan keinginannya. Mahasiswi pascasarjana ini bahkan mulai mendapatkan ingatan seorang wanita bangsawan yang hidup di Era Heian-Mume. Celakanya, roh Mume yan...