Delapan

16.3K 1K 5
                                    

Waktu sudah menunjukkan pukul tiga pagi. Kavin baru saja pulang dari klub.
Untunglah sekarang akhir pekan. Dia tidak ingin datang ke kantor dengan keadaan seperti Zombie, dengan lingkaran hitam di kedua matanya.

Setelah Kavin mengantarkan Anna ke apartemennya, dia memutuskan singgah ke sebuah klub malam. Dia butuh minum untuk menjernihkan pikiran.
Kavin menghubungi kedua sahabatnya agar menemani, dan menjadikan kedua sahabatnya tong sampah untuk bercerita.

"Muka di tekuk!" Ujar Ruri
"Wah, ternyata dia teman yang sangat perhatian. Dia sudah memesankan kita minum Rur." Ucap Haris penuh dengan cibiran.
"Berisik. Jangan banyak bicara nikmati saja minuman kalian." pintanya pada kedua sahabat.
"Baikan lah, Bos. Thanks untuk menumannya" ejek Haris dengan memutar kedua bola matanya.
"Kenapa? Terjadi sesuatu?" Tanya bapak satu anak itu. Hanya dia yang bisa di andalkan oleh Kavin.

"Mama, menyuruh aku untuk menikah lagi." Mendengar pengakuan Kavin, membuat minuman yang baru saja Haris minum keluar kembali dengan semburan.
"Kau serius?" Haris tidak percaya apa yang Kavin katakan.
Ruri hanya bisa menggelengkan kepalanya dengan melihat kekonyolan yang Haris lakukan.

"Lantas, dimana letak kesalahannya?" Balas Ruri dengan kerutan di keningnya.
"Dia sahabat Rissa, yang telah lama pergi menghilang. Sekarang telah kembali, dan menjadi sekretarisku" jelas Kavin kepada kedua sahabat di hadapannya.
Mendengar kabar itu membuat Haris batuk tersedak oleh minumannya. "Wow, amazing" hanya itu yang keluar dari mulut berisik sahabatnya.

*****

Kedua kelopak mata Anna membuka perlahan. Masih dengan pandangan buram, dia memperhatikan jam di sisi kanan tempat tidur. Sudah pukul delapan pagi, untunglah ini akhir pekan dia tidak perlu pergi bekerja. Anna terdiam sejenak, ingatannya kembali memutar kejadian semalam. Dia memijat pelipisnya yang terasa pusing, semalam otak Anna sibuk memikirkan permintaan Bella, sehingga membuat matanya sulit terpejam.

Kaki ramping milik Anna menapakan lantai, melangkah memasuki kamar mandi untuk membersihkan diri. Ada satu tempat yang harus Anna kunjungi lagi.

Disinilah Anna berdiri, di belakang halaman panti di bawah pohon mangga tempat favorite-nya dulu.
"Ada yang ingin di ceritakan kepada Bunda?" Tangan tua itu membelai surai hitam Anna dengan sayang. Dia sudah hapal dengan sifat anaknya yang satu ini, tidak akan pernah bercerita sebelum di tanya.

"Bu Bella, meminta aku menikah dengan Kavin" Anna berbisik pelan dan tatapannya menerawang dengan kosong.

Bunda Yanti hanya tersenyum lembut, dia tidak kaget dengan kabar ini. Karena Bella  sudah menghubunginya dan membicarakan ini.
"Jika kamu menginginkan ini, tidak apa-apa. Tidak ada yang salah" Bunda Yanti tahu mana yang terbaik untuk anaknya.
"Tapi dia tidak pernah menginginkan aku"
"Jodoh tidak ada yang tahu, Ann. Suatu saat pasti dia menginginkanmu." Di raihnya kedua tangan Anna untuk menenangkan "Semuanya pasti akan baik-baik saja."

*****

Hari Senin, hari yang selalu di benci oleh setiap orang yang malas bekerja. Dan begitupun yang sedang Kavin rasakan sekarang, tidak biasanya dia membeci hari.
Ruang kerja Kavin terletak di lantai tujuh gedung Setiabudi, melalui jendela kaca di samping mejanya, Kavin bisa melihat jelas kemacetan lalu lintas di Jalan Rasuna Said yang menjadi salah satu pusat bisnis jakarta. Deretan mobil-mobil di jalan itu tak ubahnya seperti iring-iringan semut.

Tumpukan map berisi dokumen-dokumen di atas meja kerjanya tidak bisa mengalihkan pikirannya sekarang.
Satu jam yang lalu Bella memberi kabar bahwa Anna menerima permintaannya untuk menikah dengan Kavin. Mendengar kabar ini membuat Kavin ingin pergi untuk selamanya, dia tidak menyangka Anna akan menerima permintaan konyol Mamanya.
"Bagaimana persiapan proyek Hotel di Bali?"
Kavin mengalihkan perhatinya ke Ayahnya yang baru saja memasuki ruangan kerjanya.
"Masih dalam proses negoisasi dengan pihak kantor Singapura. Lokasi sudah aku cek. Papa belum pulang? Tidak dicari Mama?"

Arwan melepaskan tawa kecil, mendengar pertanyaan anaknya seolah dia anak kecil yang belum pulang lalu dicari oleh mamanya. "Papa disuruh Mama menemani kamu lembur, takut kamu melarikan diri"

Kavin hanya tertawa saja menanggapi gurauan Ayahnya itu. "Jangan terlalu di pikirkan, jalankan saja. Sepertinya dia wanita yang baik" Kavin mengangguk, mengiyakan perkataan ayahnya.
Dia hanya bisa pasrah, mau gimana lagi nasi sudah menjadi bubur. Sudah tidak bisa diperbaiki lagi.

*****

Di waktu yang sama, di tempat yang berbeda. Seorang wanita memasuki apartemen, rasa lelah terlihat sangat jelas di raut wajahnya. Kaki jenjangnya melangkah memasuki kamar yang gelap nan sunyi, sengaja lampu itu  tidak dinyalakan agar kegelapan membawa sedikit ketenangan untuknya.

Dadanya terasa sesak, membutuhkan udara segar, tangan kecilnya membuka pintu balkon lalu punggung ringkih itu bersandar pada tiang pembatas. Mata cokelat indahnya memandang kota Jakarta penuh dengan kerlap-kerlip lampu layaknya bintang semu. Gemerlap lampu kota memeriahkan kehidupan malam, larut dalam hiruk pikuk penghuninya.

Perlahan Anna menghembuskan nafas lelahnya, otak pintarnya sedikit pusing memikirkan keputusan yang telah dia ambil.

Hampir pukul sepuluh malam saat bel apartemen milik Anna berbunyi. Perhatian Anna pada layar laptop di hadapannya segera beralih. Kedua alisnya berkerut bingung, menerka tamu yang datang nyaris tengah malam. Bel berbunyi lagi. Anna berdiri dengan malas meninggalkan pekerjaannya, lalu dia melangkah dengan was-was untuk membukakan pintu.

"Bisa kita bicara?" Ucap seorang laki-laki yang berdiri di hadapannya dengan penampilan sedikit kusut, lengan kamejanya sudah digulung sampai siku. Penampilannya sudah tidak serapih waktu pagi.
"Kavin?" kening Anna berkerut dengan tatapan bingung dari mana Kavin tahu unit apartemennya.
"Tidak sulit untuk mengetahui kamarmu" kavin tau arti tatap mata itu.
"Apa saya mengganggu?"
Anna menggelengkan kepala "tidak" tanggapnya dan mempersilahkan Kavin masuk kedalam apartemennya.

Kavin mengambil posisi duduk di bagian ujung sofa di ruang tengah, di atas meja terdapat layar laptop masih menyala menampilkan tulisan-tulisan kecil yang dia ketahui sebuah laporan hasil meeting-nya. Mata hitamnya meneliti setiap penjuru apartemen, hanya ada satu kamar tidur, satu kamar mandi, ruang tamu, dan satu set mini bar dapur kecil. "Simple, dan rapih" gumamnya.

Anna menghampiri Kavin dengan satu cangkir kopi hitam di tangannya.
"Silahkan di minum, maaf hanya ada kopi" di letakannya cangkir itu di atas meja, lalu mengambil laptop untuk di matikan.

Kavin memperhatikan penampilan wanita yang sedang duduk dihadapannya. Wajah polosnya tanpa make up sedikitpun, dan piyama berwarna cream selutut. Memperlihatnya kaki mulus putihnya.

"Jam segini kamu masih bekerja?" Kavin mengalihkan pandangaan kearah secangkir kopi di hadapannya lalu tangan besarnya meraih cangikir itu dan bibir tipisnya menyesap sedikit demi sedikit cairan hitam favorite-nya.
Hanya gumaman yang Kavin dengar.

"Apa kamu yakin dengan keputusan yang kamu ambil" telaknya langsung dengan pandangan meneliti. Kavin masih berharap keputusan yang Anna ambil itu tidak benar.
"Iyah, saya yakin." mata cokelat itu membalas tatapan Kavin dengan sangat yakin.
"Ada alasan apa yang membuat kamu menerima perjodohan gila ini?"
"Tidak ada alasan saya untuk menolaknya."
Kavin menghembuskan nafas pasrahnya, hanya itu yang bisa dia lakukan untuk sekarang.

"Baikalah jika itu keputusanmu, satu bulan lagi kita akan menikah" di pandanganya wajah wanita di hadapannya dengan penuh peringatan.
Kavin membawa badanya untuk berdiri, dia ingin segera keluar dari gedung ini. Kavin membutuhkan udara segar, agar paru-parunya bekerja dengan baik.

"Apakah di antara kita akan ada perceraian?" Mendengar pertanyaan itu membuat rahang Kavin mengeras dan tangannya mengepal menahan emosi. Dia tidak ingin menjawab pertanyaan itu, Kavin memilih pergi meninggalkan wanita yang sedang menunggu jawaban darinya.

============================

Pure LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang