Dua Puluh Empat

15.4K 1K 26
                                    

Hari-hari yang lewat sudah berubah menjadi minggu. Dua minggu sudah Anna lalui penuh dengan kehampaan.
Banyak orang yang memiliki masalah dan kesedihan. Masalah berat membuat kesedihan yang teramat dalam. Apa bisa di bilang jika masalah hati adalah masalah paling berat?

Bagi Anna, iya. Karena orang yang selama ini sangat dia cintai telah berubah menjauhinya.
Tapi saat ini Anna harus bersahabat dengan waktu. Meyakinkan dirinya bahwa rasa sakit di dalam dada akan sembuh jika sudah melewati waktu yang cukup lama.

Anna duduk bersandar dengan lemas di sofabed, matanya fokus pada tulisan-tulisan kecil pada layar laptop di atas pangkuannya. Beberapa kali Anna mengerjapkan mata pandangannya terasa sudah mengabur perih.

Deringan ponsel di sisi tubuh Anna mengalihkan kegiatannya. Anna hanya memandangi benda pipih itu yang berada dalam genggaman. Beberapa kali Anna membaca nama seseorang yang tertera pada layar ponsel, Anna tidak percaya apa yang telah di bacanya.

Bibir tipis itu tertawa hambar, setelah membaca isi pesan dari laki-laki yang sudah lama tidak menghubunginya, bahkan laki-laki yang jauh disana tidak pernah membalas pesan atau e-mail yang Anna kirim. Apa lagi telpon darinya, selalu di alihkan.

"Sudah beberapa bulan kamu tidak memberi kabar, bahkan setiap pesan dariku tidak pernah kamu balas, dan baru sekarang kamu menanyakan kabar aku?" Ucapnya lirih. Rasanya Anna ingin menangis, dia sungguh sangat kecewa kepada laki-laki yang sudah dia anggap seperti kakak.

Anna meletakan laptop di atas meja dengan tidak peduli membiarkan benda itu terus menyala, dia sudah tidak berminat lagi meneruskan pekerjaanya.
Dibaringkannya tubuh lemah itu di atas sofabed yang selama satu minggu ini Anna jadikan tempat pengistirahatannya.

Selama itu dia tidak berani lagi tidur bersama Kavin, jika Anna tidur di kamar atas Kavin tidak akan mau masuk dan tidur bersamanya. Laki-laki itu akan memilih tidur di ruang kerja dan akan masuk ke kamar disaat Anna masih terlelap pulas.

Rumah besar Kavin memiliki lima kamar, sebenarnya masih ada satu kamar tamu, tapi Anna lebih memilih tidur di ruangan ini karena dia merasa lebih nyaman berada disini. Dulu, sebelum Kavin menjadi lebih diam seperti sekarang, suaminya itu sering masuk dan duduk bersantai bersama, sehingga samar-samar masih tercium harum tubuh khas Kavin. Itulah alasan yang membuat Anna bisa tertidur tenang.

Anna tersenyum miris mengingat kisah hidupnya selama ini, selalu menyedihkan.

*****

Sudah lewat dini hari ketika Kavin melangkah menuruni anak tangga berjalan menuju dapur. Kavin membutuhkan satu gelas kopi untuk menyegarkan matanya agar tetap terjaga sampai pekerjaannya selesai.

Kavin mencoba meracik kopi sendiri secara manual, dia tidak terlalu suka meminum cairan hitam itu yang terbuat dari mesin kopi otomatis. Dengan ragu Kavin memasukan dua sendok kopi dan satu sendok gula kedalam cangkir, lalu di aduk serbuk hitam itu dengan air panas. Dicicipnya sedikit minuman itu, membuat wajah Kavin meringis.

Diambilnya lagi satu cangkir dari kabinet, Kavin memasukan satu sendok kopi dan dua sendok gula. Dia mencoba ulang membuat kopi, dan rasanya tetap sama tidak enak.

Kavin mengeram kesal, sudah tiga kali dia mencoba membuat minuman vaforite-nya tatapi tetap gagal. Rasanya aneh, yang pertama rasanya pait, kedua terlalu manis, dan yang terakhir rasanya tidak jelas. Kavin sangat payah jika di suruh membuat kopi sendiri, dia tidak pandai membuat minuman hitam pekat itu, tapi Kavin sangat pecinta kopi apalagi jika Anna yang membuatnya.

"Sialan!" Gerutunya, saat ini dia sangat menginginkan minuman itu, tetapi kenapa malah mengingat istrinya.

Kavin menyerah, dia membuka lemari pendingin lalu menyambar satu botol air mineral dan menenggak sampai menghabiskan setengah isinya.

Pure LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang