Dua Puluh Satu

15.9K 1K 13
                                    

Sinar matahari pagi menyapa kembali, menyelinap masuk melalu celah tirai di kamar luas bernuansa putih. Wanita cantik itu sudah terbangun dari tidurnya, dia enggan beranjak dari kasur empuk milik laki-laki yang masih terlelap di sampingnya, tangan hangat itu selalu membelit tubuh kurusnya. Anna masih betah memperhatikan wajah tenang sang suami yang tidak terusik oleh terpaan sinar matahari.

Diusapnya rahang yang di tumbuhi bulu-bulu halus, dia tersenyum geli merasakan bulu itu sudah sedikit memanjang.

Merasa tidurnya terganggu, Kavin menggeliat pelan. Perlahan matanya terbuka mencoba menyesuaikan pandangan yang terkena silaunya cahaya matahari.

Saat mata itu terbuka sempurna, hal pertama yang dia lihat adalah wajah polos Anna tengah tersenyum kepadanya.

"Bangun, apa kamu tidak ingin ke kantor lagi." Bisik Anna.

"Jam berapa?" Tanya Kavin dengan suara malas.

"Jam setengah tujuh."

Kavin semakin mengeratkan pelukan, lalu menenggelamkan wajahnya di lekukan leher Anna. "Hari ini aku berangkat jam sembilan saja." Ucapnya dengan suara sedikit tidak jelas.

Anna berdecak.

Semenjak lima hari keberadaannya di rumah sakit, Kavin tidak pernah pergi ke kantor. Dia selalu bekerja di kamar rawat, sambil menemaninya. Untung saja asistennya itu sudah kembali dari Singapura. Jika membutuhkan tanda tangan Kavin, Rei yang akan datang ke rumah sakit.

Anna mencoba melepaskan diri dari dekapan Kavin, tapi tangan suaminya itu semakin erat di pinggangnya.
"Lepaskan! Aku harus segera turun membantu Mama menyiapkan sarapan."

Sudah satu minggu Anna tinggal di rumah besar keluarga Abiputra, semua ini karena permintaan Kavin dan Bella. Dia tidak bisa menolak jika Mamanya itu sudah memberi perintah.

"Sebentar lagi," Pinta Kavin. Tangannya mengelus punggung polos milik Anna, "Mau aku mandikan?." Godanya.

Kepala Anna menggeleng cepat, wajahnya sudah merah seperti kepiting rebus.

"Kenapa? Waktu di rumah sakit saja, aku yang memandikan kamu." Ucap Kavin cuek. Dia mengangkat sebelah tangannya ke atas kepala, membiarkan tubuh Anna lepas dari belitannya. Kavin tersenyum geli melihat wajah istrinya itu merona merah karena malu.

Anna mendengus kesal, "Tangan aku sudah sembuh."

Kalau saja tangannya tidak sakit, ketika di rumah sakit dia tidak akan berani meminta Kavin untuk memandikannya. Pikir Anna.

Selama di rumah sakit laki-laki itu banyak diam, Kavin masih marah kepadanya. Suaminya akan berbicara jika sudah waktunya makan dan tidur. Tapi Anna bersyukur, Kavin selalu berada di sisinya, dan tidur di sampingnya.

Tangan kiri Anna meraih gaun tidur di sisi bantal, lalu memakainya dengan cepat. Dia langsung turun dari ranjang memasuki kamar mandi, Anna ingin membantu Bella di dapur. Dia sadar, dirinya bukan seorang nyonya besar, yang hanya berdiam manis di dalam kamar.

*****

Kavin memasuki ruang kerja, dia hempaskan bokongnya ke kursi kebesaran. Kavin melirik jam di tengah ruangan, benda itu menunjukan pukul 09:24 pagi. Jika saja Anna tidak menyuruhnya kerja, Kavin males sekali datang ke kantor. Sekarang dia lebih betah berada di rumah, mengawasi setiap kegiataan istri kurusnya itu.

"Telat, Bos?." Suara Rei di belakang pintu mengalihkan tatapan Kavin dari tumpukan dokumen di atas meja.

"Hari ini, apa saja jadwal saya?" Tanya Kavin dingin.

"Seharusnya tadi Bapak mengikuti meeting bulanan dengan semua divisi. Tapi, untung saja sudah ada Pak Arwan ikut serta dalam meeting tadi." Jelas Rei menggebu.

Pure LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang