1.2

116 20 0
                                    



















Setelah kejadian dimana dia hampir saja tertimpa tembikar—yang mungkin saja bisa merenggut nyawanya, Yiren sama sekali tak bicara pada siapapun setelah itu.

Gadis itu benar-benar syok, dan rasanya pikirannya mendadak kosong.

Bahkan dia pulang sendirian. Tidak dengan Woobin atau sekedar memberitahu pemuda itu kalau dirinya pulang duluan.
















Bagaimana kalau tadi Felix tak menariknya?  Mungkin gadis itu tengah menjalani oprasi saat ini, atau yang lebih buruknya langsung mati di tempat kejadian.

Yiren tak tau harus bersikap apa pada pemuda itu. Di satu sisi Felix menyelamatkannya, namun di sisi lain pemuda itulah yang jelas-jelas menariknya ke tempat itu.

Maksudnya, ini tak akan terjadi kalau sekiranya pemuda itu tak sembarangan menarik tangannya kesana. Tentu saja Yiren berhak menyalahkan pemuda itu atas apa yang baru saja menimpanya.

Tapi dia juga merasa berterima kasih pada Felix. Karna kalau bukan karnanya, Yiren tak yakin dirinya masih bernafas sampai detik ini.














Ojek online yang dia tumpangi sampai di depan rumahnya dengan selamat.

Setelah membayar, Yiren bergegas masuk rumah. Tak lupa mengunci pagar, dan seluruh pintu yang ada dirumah.

Padahal masih sore, tapi Yiren tak peduli. Dia hanya ingin mendinginkan pikirannya di kamar.











Woobin

|yi udh pulang duluan?
|kok gk bilang?










Gadis itu menghela nafas, kemudian menaruh ponsel diatas nakas, mengabaikan pesan yang baru saja Woobin kirim.

Dia tau pemuda itu pasti tengah khawatir sekarang. Tapi rasanya Yiren tak peduli.

Gadis itu merebahkan tubuhnya dikasur, bersamaan dengan dering ponselnya yang menyala.

Tapi lagi-lagi gadis itu abaikan. Ia tau itu pasti Woobin.




"Mah ... Pah ... Kalian kapan pulang sih?" ujar gadis itu lirih.

Memandang langit-langit kamar, tiba-tiba rasa rindu pada orang tuanya mendadak muncul.

Sudah sekitar seminggu orang tuanya tak pulang. Yiren rindu pelukan mamanya, dan usapan yang selalu papanya berikan. Yiren bahkan tak ingat kapan terakhir kali dia memeluk orang tuanya.









Yiren meraih kembali ponselnya. Dilihatnya, ada puluhan panggilan tak terjawab dari Woobin. Namun gadis itu tak menggubris.

Dia hanya ingin menelfon orang tuanya.












Ting!



















Saat gadis itu hendak menelfon mamanya, satu bar pesan tiba-tiba muncul dan Yiren tak sengaja membukanya.


























Unknown

|meleset
|syg bngt meleset
|padahal gue pngn bngt liat lo ketimpa tembikar
|Lee Felix sialan















🖇


















Terkadang Yiren malas dengan dirinya jika sudah kersikap labil.

Seperti sekarang. Bukan keinginannya, sebenarnya. Hanya saja perasaannya mendadak dilema.

Setelah mendapat pesan dari si 'pengirim surat' tadi, Yiren langsung berfikir, mungkin saja kecurigaannya selama ini pada Felix hanya omong kosong.

Ntahlah, saat ini perasaannya fifty—fifty.

Setengah perasaannya percaya kalau bukan Felix pelakunya selama ini, sedangkan setengah lagi masih bersikeras menyalahkan pemuda itu.

Begini, jika Felix memang pelakunya, untuk apa dia menyelamatkannya hari ini? Padahal bisa saja pemuda itu membiarkan Yiren tertimpa tembikar.

Lalu, bisa saja pemuda itu hanya berpura-pura. Dia menyuruh orang untuk menjatuhkan tembikar dan pemuda itu akan berakting seolah-olah dia menyelamatkannya, dan pemuda itu kembali mendapat kepercayaan Yiren.




—Argh, rasanya Yiren ingin membenturkan kepalanya pada dinding saking pusingnya.

Yiren yakin lama-lama dia bisa gila.

Annonymous | Seo Woobin Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang