07

68 16 11
                                    

Cklak

Kriet

"Yuya nii..."

Mata Yamada membelalak. Cahaya matahari yang cukup terik membuat sosok lelaki itu sedikit berwarna hitam.

Brugh

Tangan dan kaki Yamada bergerak secara reflek melihat lelaki itu jatuh terduduk. Segera ia mengunci pergerakan sosok yang lebih kecil darinya. Membekap mulut yang sudah siap untuk mengeluarkan teriakan.

"Hmpphhh!!"

"Siapa kau?! Kenapa bisa masuk ke dalam sini? Pak tua itu sudah menguncinya." Suara Yamada tertahan.

"Mpphh!!"

Teriakan itu melemah meskipun tubuhnya masih meronta. Bekapan kuat sepertinya telah membuat sosok kecil itu kehabisan oksigen.

"Kau sudah datang di saat yang salah." Otak Yamada yang sudah mulai terbiasa akan situasi kelam pun bekerja. Suatu keberuntungan lelaki kecil itu datang.

Siku Yamada dengan lihai menyiku tengkuk lelaki kecil itu. Tangan kirinya yang masih memengang pisau langsung menggores pengelangan tangan kanan lelaki kecil itu.

"Hmmppphh!!!" Teriakan kesakitan itu justru dinikmati oleh Yamada.

Brugh

"Hanya tinggal membereskan sisanya. Pisau ini harus memiliki sidik jarimu."

Beberapa waktu berlalu. Malam sudah menjelang menyisakan butiran peluh di tubuh Yamada.

Sial. Jangan sampai keringatku menetes. Yamada dengan teliti menghapus semua jejak setelah memastikan ketiga mayat itu berada dalam posisinya.

"Sempurna. Aku masih penasaran dengan kehidupan kalian. Tapi keselamatanku lebih penting dari apapun. Jadi, selamat tinggal."

Dengan langkah santai, Yamada meninggalkan rumah itu. Sudah ia duga jika rumah ini pun sama halnya dengan rumah Takaki sebelumnya. Memiliki jalan yang tersembunyi di belakangnya.

"Hei!" Langkah Yamada terhenti. Detak jantungnya memacu cepat. Tidak mungkin ada yang memergokinya, bukan?

"Kau? Yamada Ryosuke?" Yamada memutar badannya. Siluet lelaki setinggi dirinya dengan tubuh lebih berisi menyambut.

"Kau mengenalku?" Tanya Yamada yang masih memfokuskan pandangannya.

"Kau lupa?" Langkah lelaki itu mendekat.

"Dai...ki? Dai-chan?" Tanya Yamada setelah senyuman khas itu terlihat jelas tepat di depan matanya.

"Yo! Apa kabar?"

~♥~

Tap tap tap

"Yabu-san! Sudah berkali-kali aku katakan. Jangan lagi bertindak sendirian. Kita harus bisa berjalan searah. Ayolah, pihak kepolisian dan detektif bukankan harus bersatu?"

"Jika begitu, anda harus mempercepat gerak anda. Pihak kepolisian seharusnya paling mengerti dengan kasus pembunuhan yang mencurigakan akhir-akhir ini. Prosedur kalian cukup rumit hingga telat untuk menyelamatkan nyawa mereka. Permisi."

"Yabu-san!" Laki-laki ber-name tag Yaotome hanya bisa menghela napas pasrah. Detektif swasta bermarga Yabu itu memang keras kepala.

"Yabu-san tolong berhenti dan bekerja samalah dengan kami." Yabu sedikit kesal dibuatnya. Tapi bekerja sama dengan pihak kepolisian memang memudahkannya mengakses semua informasi yang dibutuhkan. Hanya saja semua itu memakan waktu yang cukup lama.

"Besok, saya pastikan besok Yabu-san sudah bisa melakukan penyelidikan. Tentu saja di bawah perintah kami." Kini giliran Yabu yang menghela napas.

"Baik. Besok saya akan kembali kesini. Dan pastikan penyelidikan sudah harus bisa dimulai."

~♥~

"Masuklah Yama-chan." Mata itu masih sama. Memancarkan binar. Senyuman khas yang sempat membuat Yamada luluh.

"Yama-chan? Tanganmu?" Fokus Yamada beralih. Ia melihat luka gores seperti cakaran tercetak jelas di punggung tangan kanannya.

"Ah, ini.. Em, tadi aku melihat kucing. Iya, dia menyakar tanganku." Jawab Yamada yang sudah pasti dengan kebohongannya.

"Aku obati. Kau masuklah dulu." Tawar Daiki.

"Em, tidak perlu. Nanti merepotkanmu."

Detak jantung Yamada terpacu dengan cepat. Ia teringat telah melakukan kesalahan. Kuku lelaki kecil itu belum ia potong. Bagaimana jika DNA nya masih menempel pada kuku itu? Bagaimana jika dia akhirnya tertangkap setelah membunuh empat orang?

"Yama-chan? Kau baik-baik saja?"

"I-iya. Tentu aku baik."

Apartemen sederhana. Jauh dari miliknya一pemberian Kei一 yang ia tinggali kini. Sepertinya tempat yang aman untuk ditinggali, sementara. Hanya sementara untuk bersembunyi.

"Yama-chan, kau berkeringat. Apa kau sakit?" Kening itu menempel. Detak jantung Yamada kini seolah terhenti begitu saja.

"Kau demam. Aku siapkan tempat tidur. Beristirahatlah. Aku akan keluar membeli obat untukmu." Daiki menuntun Yamada menuju futon miliknya.

"Oyasumi."

Tubuh Yamada yang sudah lebih dari 24 jam tak tidur kini sudah terlelap. Ia terlalu lelah dengan semua kejadian yang tidak akan pernah terpikir oleh siapapun. Dia sudah membunuh empat orang, bahkan tiga orang ia bunuh hampir secara bersamaan.

Next >>

SHADOW [Lengkap]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang