Prolog

12.2K 471 32
                                    

Six months before they met.

Segelas kopi hitam jadi satu-satunya gaya sarapan Sandro di pagi hari di antara dua orang lainnya yang justru masih perlu makan nasi. Mereka menyelami masing-masing kegiatan di meja makan. Dari berbagai berkas sampai dengan miniatur dinosaurus di atas meja, pagi itu masih jadi pagi yang sama dengan kemarin.

Jauh dalam lubuk hati Sandro, dia hanya berharap keluarganya bisa sedikit hidup.

"Aku ada meeting pagi ini." Sandro berdiri sambil menyeruput sisa kopi hitam buatan ibunya. Beberapa berkas diberesi, dimasukkan ke tas kerja yang sekaligus menjadi tanda jika waktunya hampir habis.

Seorang wanita berumur dengan gaya elegan dan kalung rantai emas melingkari lehernya, sedikit melirik kesal pada satu-satunya anak yang pernah ia lahirkan ke dunia.

"Mrs. Merry masih punya waktu sebelum dia resign jadi sekretarismu, artinya kamu juga masih punya waktu menunggui Noah selesai makan, San." Wanita berumur itu tersenyum saat bocah enam tahun yang baru menghabiskan saparuh makanannya, melirik takut-takut. Ia membelai puncak kepala bocah itu dengan penuh kasih sayang.

Sandro memang melihat nasi di piring Noah baru habis separuh, tapi dia buru-buru.

"Noah, Amma masih punya miniatur lain—"

Dentingan sendok memotong ucapan Sandro yang akhirnya mengangguk mengerti. Anaknya sudah pasti memilih ikut pergi ke kantor bersamanya dibandingkan harus kesepian di rumah, berteman dengan nenek penyayang yang kerap dipanggilnya Amma, sekaligus puluhan miniatur dinosaurus koleksinya.

Bocah enam tahun bernama Noah itu beranjak meninggalkan piring makan. Dengan kepala menunduk ia pergi menghampiri Sandro. Seseorang pasti bertanya kenapa Noah lebih banyak pendiam, tidak seperti kebanyakan bocah seumurannya dan sikap tersebut sering kali membuat Sandro beserta keluarga besarnya merasa iba, juga frustasi.

Sandro berjongkok dengan satu lutut menumpu pada ubin dapurnya, dia mensejajarkan tubuhnya dengan Noah. "Ikut Daddy ke kantor?"

Bukan jawaban yang didengar Sandro, melainkan anggukan tanpa kontak mata yang kadang membuat Sandro harus menahan diri untuk menegur Noah. Sandro kembali berdiri, menatap wanita berumur yang rela menghabiskan sisa hidupnya untuk membantu Sandro mengurusi Noah.

"Harusnya kamu ceraikan Sarah. Isteri mana yang nggak mau tinggal serumah sama suaminya."

"Aku yang melarang," ucap Sandro sambil mengangkat Noah ke gendongan. Bocah itu begitu pendiam.

"Biar apa, San?? Kamu lupa kalau Noah juga perlu figur ibu? Dia masih enam tahun, tumbuh tanpa tahu siapa ibunya. Kalau memang sarah sudah nggak berguna, ceraikan!"

"Enough, Mom. Kita bisa bahas ini nanti." Sandro melangkah keluar dapur dengan kedua tangan sibuk antara menggendong Noah dan membawa tas kerja. Pergi menuju garasi dengan rentetan ceramah masih terdengar di belakang.

"Selalu itu jawabanmu. Mommy tahu Sarah cuma jadi jalan bisnis Daddymu yang serakah soal perusahaan. Seenaknya nikahin kamu sama jalang. Dia cuma mau kamu tanpa lainnya, tanpa Noah apalagi anak yang mungkin bakalan lahir dari rahimnya di hubungan kalian nanti."

"Itu sebabnya aku melarang Sarah tinggal di sini."

"Ceraikan, San. Kalau cuma melarang Sarah tinggal, Mommy juga bisa!"

Mengetahui ribut-ribut kembali terjadi di pagi yang cerah, Rudi—supir pribadi keluarga Sandro memilih segera membukakan pintu mobil untuk majikannya. Hal yang biasa jika pagi-pagi sudah mendengar keributan. Toh, Rudi tahu Sandro bukanlah orang yang mudah menanggapi argumen sampai mulut berbuih dan semakin menambah rantai masalah. Maka dari itu, begitu Sandro membawa Noah memasuki mobil, Rudi sudah harus bersiap di balik kemudi supaya Renita—Ibu Sandro—berhenti memperpanjang argumen karna Sandro sudah harus berangkat kerja.

• Scandal • [Sudah CETAK]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang