Pantang

17 4 0
                                    


Nostalgia memang tidak pernah luput dari malam ku. Tapi kali ini, aku tak lagi mau tuk larut dalam kenangan. Seseorang pernah saja patah, tapi tidak untuk menyerah. Seseorang tak akan selamanya pincang, karena ia selalu merancang.

Hari ini hari terakhir kak danu di Jakarta, ia akan kembali ke Solo siang ini. Jadi, pagi ini kak danu yang mengantarku ke sekolah. Entah, tak pernah sesedih ini, menatap punggungnya dari belakang mengingatkan ku pada tujuh tahun lalu. Sudah ya tidak perlu di ceritakan, sudah hampir sampai di sekolah juga.

“Kamu yang rajin, jangan males malesan lagi, inget udah mau ujian, jangan terlena sama permainan sekolah, doain kakak juga supaya dilancarkan skripsi kakak dan kita bisa kumpul lagi, kamu dengan sekolah baru mu, kakak dengan dunia baru kakak,”

“Ah aku gengsi kalau nangisin kakak didepan kakak,”

“Haduh adik cengeng, kakak usahain nanti kita lebih sering berkabar,” sambil memelukku. Tenang, langit belum terlalu terang, penghuni sekolah pun belum banyak yang datang.

Sambil berjalan menyusuri dinding-dinding koridor sekolah, ingin terus menangis rasanya. Dia kakak sekaligus ayah untuk ku. Ayah ku ada, namun seperti tidak ada. Aku tidak terlalu baik dengannya. Tak perlu ya ku ceritakan juga.

Masih di tangga menuju lantai 3, ada suara hentakan kaki dan aku menoleh ke belakang. Tidak, aku tidak percaya kalau dibelakangku itu Malik. Mendadak jantungku berdebar tak karuan. Seraya langkahnya yang semakin cepat dan langkahku yang semakin pelan.

“Malik,” aku berhenti di hadapanya, dan ia berhenti melangkah.

“Ada apa?” katanya sembari memalingkan wajahnya.

“Ada yang mau gue tanyain,”

“Gue mau ngerjain tugas, duluan ya”

“Tapi, sebentar doang,”

“Lain waktu ya,” ucapnya terakhir dan berjalan mendahuluiku.

Kenapa ia begitu gugup? Kenapa ia begitu buru-buru?Kenapa ia seperti orang yang ketakutan? Kenapa ia seperti orang sibuk?

~

Lain halnya dengan Dinda, untuknya jajan adalah bagian penting di sekolah. Biasanya aku bawa makanan bekal, tapi entah aku sedang tak selera untuk makan. Sedari bel berbunyi aku hanya berdiri di balkon depan kelas orang, melihat orang yang berlalu-lalang di koridor lantai bawah, melihat orang yang tak pernah henti meramaikan lapangan, dan memandangi bayangan gunung yang kadang terlihat, kadang tidak.

“Fa, kamu dipanggil Bu Hana di ruang BK,”
Aku hanya tersenyum mengangguk dalam membalasnya, dan segera ke ruang bimbingan konseling untuk menemui Bu Hana.

“Siang bu, ibu mencari saya?” ucapku sambil duduk di depan meja bu Hana

“Iya, ibu hanya ingin minta bantuan kamu untuk mengumpulkan uang ta’ziah dari kelas 9-B, berhubung nanti ada jam ibu kan setelah istirahat?”

“Oh, 9-B ya bu? Iya bu ada”

“Iya 9-B, kenapa memang? Ada pacar kamu ya?”

“Pacar bu? Saya gak punya pacar,”

“Hmm.. semua anak yang pacaran kalau ibu ledekin juga jawabnya sama kaya kamu, yaudah nanti kalau kamu malu, ajak aja Dinda buat menemani. Ibu nanti gak masuk kelas dulu ya, ibu mau rekap absen nih,”

“Oke bu, kotak nya dimana ya bu?”

“Oh iya, ini”

“Baik bu, yaudah bu saya bawa ya bu,” kata ku mengakhiri sembari salim kepadanya.

“Kamu sakit Fa? Badan kamu cukup panas,”

“Hmm.. enggak bu, mungkin saya tadi terlalu lama berdiri di depan balkon,”

“Oh syukur kalau begitu,”

Keluar dari ruang bimbingan konseling, entah kenapa, mendadak pandangan ku buram.

“ Masih kuat Fa?”

“ Masih kok, makasih ya,”

“ Mau gue bantu anter ke kelas?”

“ Nggak usah, gue masih bisa sendiri,”

~

Setelah minum, dan duduk sebentar, pas sekali bel istirahat berakhir berbunyi. Sambil menunggu Dinda datang, aku kepikiran sama dia yang menolongku tadi. Aneh sekali, semakin gugup dibuatnya.

“Din, duh akhirnya lu dateng juga,” ucapku yang sedikit membuatnya terkejut karena aku langsung menarik tangannya.

“Fada, yaampun lo pucet banget!”

“Udah gue gak kenapa-kenapa, nih tadi kita diminta sama Bu Hana buat ngiterin box ini di kelas 9B , karena kelas itu doang yang belum. Sebenernya sih gue yang diminta, tapi gue gak mau ah kalau sendiri, makanya gue ajak lu,”

“Fa, ini langkah bagus buat kita lanjutin misi lu, mau lanjutin gak?” tanya nya yang sangat bersemangat.

“Nih tunggu dulu gue  mau cerita, jadi tadi tuh gue keluar dari ruang BK, pusing banget dan pandangan gue tuh burem, gue pegangan tembok sambil merem, nah tiba tiba ada yang nolongin gue, dan lo tau siapa?”

“MALIK?!”

“IYAA, GUE SALTING DIN!”

“Fada, jangan sampe misi kita belum selesai, malah keduluan lu jatuh hati. Mending kalau yang kita cari selama ini ternyata bener, tapi kalau enggak?”

“ Lu yakin nya gimana?”

“Ya bener sih, yaudah mending sekarang kita buat rencana. Nih lu nanti jalan ke barisan yang ada Maliknya, dan nanti gue di barisan sebrang, nah lu perhatiin tuh, kalau banyak yang ngeledekin, berarti bener. Tapi kalau enggak, yaa bener juga hehe”

“Kok lo pinter sih…”

“Sebenernya lo lebih pinter soal ini, tapi lagi ketutup sama awan gugup aja, jadi kurang,”

“Yaudah yuk,” Ajakku sambil keluar kelas menuju kelas sebelah.

“Bismillah dulu Fada,”

“Oh iya, Bismillahirrahmanirrahiim,”

Saat itu juga kami masuk ke kelas 9B, sudah ada guru yang sedang mengajar, tentunya kami meminta izin terlebih dahulu. Setelah mendapatkan izin, kami langsung mengelilingi seluruh barisan untuk mengitarkan kotak ta’ziah tadi. Sesuai rencana, aku berada di barisan dimana tempat Malik berada. pada saat masuk kelasnya, sebenarnya, respon mereka sudah aneh. Malik menatap ku lama dan ia dibercandai oleh teman-temannya. Semakin diriku mendekaty ke barisannya, dan pada saat itu, mata kami bertemu, rasanya beda. Aku merasakan sesuatu yang selama ini tak kurasakan. Bahkan aku melamun saat bola mata kita bertemu, yang tampak sedikit kecoklatan. Hingga aku menutup pintu pada saat aku keluar kelasnya saja , aku masih melihat nya kalau ia masih melihat ke arah ku.

Aku ceritakan itu semua ke pada Dinda, karena ia tidak memperhatikan ku saat tadi dikelas 9B.

“Fada, kayanya beneran deh, dia punya rasa sama lu,”

“Gue juga yakin begitu Din, cuman kalau dipikir-pikir lagi ya, gue gak pernah ketemu dia selama gue sekolah disini, dan gue baru tau ada nama Malik di sekolah ini, gue jug abaru tau dia belum lama, dan kenapa dia bisa suka sama gue. Jujur emang gue salting dan segala macem, tapi gue juga takut kalau gue malah yang bakal terlalu jatuh Din, ya lu tau sendiri, yang kemarin masih belum sembuh total,”

“Ya iya sih Fa, tapi lu yakin gak? Kalau lu yakin, yang lu yakinin itu yang bener Fa,”

“Yakin sih,"

FADATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang