Kelulusan

9 1 0
                                    

Pintu pagar rumah ku terkunci, aku mengeluarkan kunci cadangan untuk membuka gembok pagar.Itu tandanya sedang tidak ada orang di dalam rumah. Sepertinya ibu sedang keluar membeli bahan-bahan kue. Aku langsung menuju ke kamar.

Melentangkan tubuh diatas kasur, kemudian menatap langit-langit kamar sambil memikirkan soal tadi. Tentang kisah ku bersama Oza, sudah seharusnya aku mengambil pelajaran yang didapat. Jangan sampai kejadian serupa terulang kembali.

Sering berdebat dengan hati dan pikiranku sendiri tentang sikap Malik. Ketidak terbacanya hal-hal yang ia lakukan, justru membuatku pusing, ke arah mana aku harus melangkah. Iya, aku memang sedang membutuhkan penyembuh, tapi bukan berarti aku tidak bisa menyembuhkan luka ku sendiri.

Ibarat buku, buku pertama ku baru saja selesai. Meskipun dengan akhir yang sebenarnya belum menjadi akhir yang utuh. Sekarang ku buka buku kedua, yang masih putih halus pada lembar-lembarnya, tapi aku masih ragu untuk mulai melanjutkan prolog yang telah ku tulis, meskipun prolog ini terkesan amat panjang.

Ponsel ku sedari tadi berdering, dan banyak sekali notifikasi pesan singkat yang masuk. Aku tahu itu Malik, sudah seperti biasa ia selalu cemas dengan sikapku yang terkadang berbeda tiba-tiba. Aku tak mau meresponnya dulu. Biarkan aku berdikusi kepada sang waktu tentang Malik.

Sejak detik pertama aku penasaran dengannya, tak ada harapan lebih untuknya. Masih hangat dengan buku yang lama, dan berdampak pada diriku yang sulit mempercayai orang lain. Bahkan setiap kali menggerakan pensil untuk menulis, rasanya ragu sekali. Jika ku lanjutkan, apakah akan berbeda dengan buku lama ku? Apakah akan selesai? Apakah akan berhenti di tengah-tengah buku? atau, akan selesai pada bagian pertama? Aku juga tidak bisa menjawabnya.

~

"Ada apa, Malik?"

Aku baru membalas pesan nya satu minggu setelah ia mengirim pesan. Setiap hari ia juga mengirim pesan, yang tidak beda dengan pesan sebelumnya. Hanya bertanya dengan sebuah kata tanya 'kenapa'.

"Syukurlah, Fada sakit?"

"Enggak,"

"Ok, lalu?"

"Lalu apanya?"

"Kenapa kemarin menghilang?"

"Gak menghilang,"

"Hanya menghindar karena ragu telah memenuhi isi hati mu?"

"Ada yang mau disampaikan?"

Aku lebih memilih untuk mengganti topik obrolan, dari pada menjawab pertanyaan benarnya itu.

"Lagi sibuk ya?"

"Mungkin,"

"Besok pengumuman kelulusan, cepat sekali ya,"

"Iya,"

"Gak terasa mungkin kita akan di sambut oleh perpisahan,"

"Iya mungkin,"

"Doa mu apa?"

"Masih sama seperti yang lalu, mendapat nilai yang cukup untuk bisa masuk ke SMA itu,"

"Itu saja?"

"Aku gak mau minta banyak-banyak,"

"Doa kita beda ya,"

"Wajar kok,Bisa jadi doa Fada dengan doa ibu juga beda,"

"Kamu tidak ingin tau apa isi doa ku?"

"Aku pikir isinya akan sama, hanya kalimat nya aja yang berbeda,"

"Isi doa ku, aku meminta agar kita tidak di pisahkan,"

Setelah itu aku langsung memejamkan mata, rasanya bercampur. Benar-benar sulit untuk di yakini. Semakin ku melangkah, semakin ragu. Ragu kalau ia menjadi penyembuh luka. Ragu juga kalau ia ternyata memang serius.

Aku tidak membalas pesan terakhirnya itu. Aku pikir ia paham betul. Ia akan terbiasa dengan ku yang meninggalkan pesannya mengambang. 

Hari ini aku hanya di sibukan dengan membuat kue dan melukis. Sudah, dunia ku memang tidak jauh dari itu. Seharian ini memang melelahkan, aku tidur lebih awal dan memasang alarm untuk melukis dan beribadah. 

Pergantian hari memang menyenangkan. Angin terasa begitu berbeda, di malam sekaligus pagi ini. Bercerita kepada sang pemilik siang dan malam, tentang diriku yang tak bisa berdiri sendiri. Masih memerlukan uluran tangan untuk membantu berdiri dan berjalan. Segenap yang ku harapkan, aku bisa memperoleh nilai yang cukup untuk masuk ke sekolah yang lanjutkan, aku bisa beradaptasi dengan baik di sekolah itu, bisa bersahabat dengan teman-teman yang mungkin akan banyak peserta didik dari sekolah lama, aku bisa menulis cerita yang lebih indah, aku bisa merasakan hal baru dan aku sanggup menjalankannya. 

Sampai terbit fajar, aku hanya menghabiskan waktu dengan berbincang dan mendekat kepada sang pencipta. Kemudian aku menemui ibu.

"Masih banyak bu yang belum?"

"Sedikit lagi,tadi abis ibu tinggal anter pesanan nya,"

"Ohh pantes,"

"Jam berapa Fa pengumuman nya?"

"Jam 10 sih bu kalau di jadwal, tapi nggak tau,"

"Ya berarti jam 10, kalau pengumuman mah jam nya pasti,gak ngaret,"

"Iya ya. Takut nih bu,"

"Halah halah ngapain takut sih, udah berusaha, udah berdoa, kalau udah melakukan yang terbaik,banyak jalan untuk dapat yang baik juga. Percaya aja pokoknya,yakin yakin yakin. Ragu boleh,tapi ke orang aja, ke Allah harus yakin,"

"Iya bu,"
"Bu, aku mau tidur dulu ya,ngantuk. Nanti bangunin ya,"

" Pasang alarm aja Fa, ibu lagi repot takutnya malah lupa,"

"Oke,"

*pukul 10.25*

Padahal aku sudah memasang alarm dan jam pun sudah ku letakan persis disamping telinga ku. Tapi tetap saja aku tidak mendengar suara alarm. Sudah lebih 25 menit dari waktu pengumuman. Notifikasi ponsel ku sudah banyak sekali. Aku tidak berani untuk membuka nya. Aku langsung menghampiri ibu untuk mengabari nya.

"Bu kesiangan,udah pengumuman,"

"Oh iya lupa ibu juga tuhkan,emang kamu gak pasang alarm?"

"Pasang bu,tapi gak denger hehe,"

"Yaudah coba Fa sekarang lihat pengumuman nya,"

"Doain bu,ini aku lagi buka,"

Pastinya gugup sekali untuk menyaksikan pengumuman itu, segala nya ku pasrah kan kepada sang pencipta.

"Alhamdulillah bu, Fada lulusss!"
Kemudian aku langsung memeluk ibu ku. Aku dan ibu sama-sama tak kuasa menahan tangis.

"Alhamdulillah,selamat yaa sayang"

"Rata-rata nya alhamdulillah 8,5 bu.. Ya Allah terima kasih,"

"Alhamdulillah, tuh kan bener kan? Gak akan mengecewakan kalau yakin kepada-Nya,"

"Iya bu..aku bahagia banget,"

"Ibu mau kabari ayah sama kak Danu,"

Ibu menelfon ayah dan kak Danu untuk mengabarkan kelulusan ku. Aku baru bersni membuka pesan pesan yang masuk. Di grup banyak yang mengucapkan selamat atas hasil yang telah di peroleh dari perjuangan selama ini. Banyak juga yang memberi semangat kepada teman-teman yang memperoleh hasil yang belum memuaskan.

Perkara nilai,itu tidak menjadi masalah. Tidak melulu pengetahuan di nilai dengan angka. Semua orang memiliki potensi nya masing-masing. Begitu pun perkara sekolah. Sekolah favorit tidak menjamin kesuksesan. Mau berada di mana pun, kalau memang ia bisa, ya semua tidak berbeda dengan yang lainnya.

"Selamat ya Fada. Doa mu di ijabah sang pencipta. Kamu mendapat nilai yang amat bagus, tak ada keraguan di dalamnya,tentu kamu bisa bersekolah di sekolah yang kamu mau. Kemungkinan yang kemarin kita bicarakan,akan segera terwujud. Perpisahan namanya. Entah kita di pertemukan kembali atau tidak,yang jelas aku sangat bahagia bisa   kenal dan berteman dengan mu,".

" Terima kasih,Malik.. Selamat juga atas pencapaian mu. Tetap semangat, kamu berpotensi. Aku yakin sekolah baru mu nanti akan menerima kehadiran mu dengan sangat terbuka. Aku pikir kata perpisahan itu bisa diganti dengan kata jarak,"




FADATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang