Part 3

27.7K 1.5K 30
                                    

Koreksi kalo ada typo yaa..
jangan lupa vote dan komen jugaa😉

***

Nat berdiri kaku. Tubuhnya hampir saja oleng jika dia tidak bisa menahannya sebentar saja. Dafit masih duduk santai di kursi kebesarannya. Tak terganggu dengan wajah memerah Nat yang sebentar lagi akan meledak.

Tak menyangka dengan tawaran konyol bosnya. Nat kira, ia di panggil ke sini karena masalah pekerjaan. Tahunya apa?

Nat mendengus keras. Membuat Dafit mengerut. "Apa Bapak tidak salah?"

Dafit dengan tegas menggeleng. Keputusannya sudah tepat. Ia akan menjadikan Nat istrinya.

"Saya sama Bapak nggak lebih hanya atasan dan bawahan." Kata Nat mengingatkan. Kakinya masih tidak bisa bergerak. Seolah ada lem yang menahan dirinya untuk tetap berdiri.

"Menikahlah dengan saya." Dafit mengulanginya lagi.

Nat menggeleng tegas. Menolaknya membuat harga diri Dafit terinjak. Pertama kalinya dalam sejarah Dafit di tolak seperti ini.

Dafit mendengus. "Kamu harus mau, Natha. Jika tidak---"

"Jika tidak?" ulang Nat. "Apa saya akan di pecat?"

"Ya."

"Pecat saja kalau begitu." Tanpa aba-aba Nat membalikkan tubuhnya namun tubuh besar milik Dafit menahannya. Membuat pintu ruangan itu kembali tertutup.

Klik. Dafit menguncinya.

Nat melotot. "Buka Pak! Jangan macam-macam ya!" tegas Nat. Walau dalam hatinya sudah ketar-ketir. "Atau saya akan teriak!"

"Teriak saja." Dafit berkata santai. Tubuhnya mengitari Nat. Melirik perempuan itu dari atas hingga ke bawah.

Sempurna. Batin Dafit. Nat akan menjadi pilihan yang tepat untuk dia bawa ke hadapan orang tuanya. Dafit mulai meneliti satu persatu.

Tubuh perempuan di hadapannya terbilang tinggi untuk ukuran perempuan Indonesia. Walaupun tinggi Nat hanya sebatas dada laki-laki itu. Rambutnya merah. Entah itu merah alami atau bukan. Kulitnya putih bersih porcelain. Matanya bulat dengan iris mata berwarna cokelat gelap. Hidungnya mancung, lalu tatapan Dafit turun ke arah bibir Nat. Merah tipis. Tanpa sadar Dafit maju selangkah membuat Nat memundurkan tubuhnya.

"Pak! Buka pintunya!" teriakan Nat membuat Dafit tersentak. Hampir saja dirinya mengecup bibir itu.

Seirra Nathania. Dafit mengulangi nama perempuan itu tiga kali.

"Cantik." Kata Dafit tak menghiraukan teriakan Nat.

Nat mulai kalang kabut. Bosnya ini menatapnya seolah-olah Nat santapan enak. Hatinya berdetak tak karuan. Takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.

"Saya mau balik ke meja saya, Pak. Tolong buka pintunya." Cicit Nat sekali lagi. Berharap Dafit mau membukakan pintunya.

"Then, terima lamaran saya. Maka saya akan membuka pintunya."

Nat tetap menggeleng tegas. Baru saja ia bangkit dari keterpurukan, lalu kini dirinya di hadapkan dengan bos gila.

Dafit mengerang. Berjalan menuju kursinya lagi. "Terserah. Pintunya tidak akan saya buka, sebelum kamu menerima lamaran saya."

Nat panik. Bagaimana ini? Batinnya berteriak. Tarik napas, buang. Nat melakukannya hingga tiga kali. Mencoba berpikir bagaimana membuat Dafit membukakan pintunya tanpa Nat menerima lamaran konyol itu.

"Kenapa harus saya?" tanya Nat membuka percakapan.

Dafit menatap tajam Nat. "Kamu ingin tau jawabannya?" tanyanya balik.

NATHANIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang