Part 7

19.6K 1.1K 3
                                    

***

Sebaliknya, Dafit justru terlihat biasa-biasa saja. Tatapan mata Nat, menurut Dafit tidak akan mempengaruhi keputusan Dafit. Ya. Keputusannya sudah bulat untuk tetap menjadikan Nat istrinya. Bagaimanapun caranya.

Apa yang ada dipikiran bosnya ini? Batin Nat. Mulai dari memaksa Nat untuk menerima lamarannya, menandatangani kontrak pernikahan, dan sekarang bosnya itu seenak udel ingin memiliki keturunan. Nat bisa gila kalau seperti ini.

"Bodo amat! Yang penting saya bisa lepas dari Bapak. Berapapun, akan saya bayar." Nat masih tidak menyerah. Walaupun ia tahu, uang yang sangat banyak itu, sulit sekali untuk ia dapatkan. Bahkan sekalipun Papa Sam seorang pengusaha, sama seperti Dafit.

Dafit manggut-manggut. "Oke, fine. Tapi, saya minta untuk besok anda bayarkan kerugiannya."

Mulut Nat menganga lebar. Apa tadi katanya? Besok? Gila! Tidak ada yang lebih gila dari Dafit---untuk sekarang ini.

"Bapak gila!?" teriak Nat. Ia tahu, kalau sudah bersikap tidak sopan, namun Nat membiarkannya. Matanya melotot. "Dapet dari mana tuh duit, kalo besok." Nat memandang Dafit frustasi. Apa bosnya ini sedang mencoba mempermainkannya?

"Ya sudah, kalo gitu lanjutkan saja rencana saya." Kata Dafit santai. Tersenyum kecil melihat Nat yang masih menolak tawarannya.

"Nggak mau!"

"Kenapa? Kamu seharusnya merasa diuntungkan." Dafit berujar dengan nada sombong. "Banyak sekali, perempuan di luar sana yang, menginginkan saya," imbuhnya.

"Dan saya bukan termasuk perempuan seperti mereka!" sembur Nat.

Dia, disamakan seperti perempuan di luar sana, yang menginginkan Dafit? What? Yang benar saja. Dengus Nat terdengar Dafit. Baru kali ini, Dafit menemukan perempuan yang tidak terpengarulh pesona padanya.

"Terserah. Kamu boleh keluar, dan jangan lupa bayar kerugiannya, besok." kata Dafit dingin. Ia kembali fokus lagi menatap tumpukan kertas. Mencoba mengabaikan Nat, walaupun harapan Dafit sebenarnya adalah, Nat mau menerima tawarannya.

Nat bingung. Besok tenggang waktunya. Bagaimana ia mendapatkan uang sebanyak itu? Minta sama Papa Sam? Tidak mungkin. Yang ada dirinya akan dilontarkan berbagai pertanyaan.

Net? Tidak. Nat sedang tidak ingin berhubungan dengan Net dulu, mungkin dalam beberapa hari kedepan. Dirinya masih kesal sekali, dengan saudara kembarnya itu.

Lalu ke siapa? Batin Nat bertanya-tanya. Oh My God! Coba saja Aarhus sudah besar, dan tidak banyak omong seperti Papa Sam dan Net, bisa Nat pastikan, ia meminjam uang dari Aarhus. Tapi, tentu saja itu tidak mungkin.

Kepala Nat rasanya ingin pecah. Melihat ketidakpedulian Dafit sekarang, membuat Nat berpikir bahwa Dafit serius dengan ucapannya---tentu saja pinalti itu.

"Oke!" teriak Nat tanpa sadar. "Saya akan melanjutkan rencana ini."

Kepala Dafit, yang semula menunduk, kini mendongak. Menatap Nat datar. Walau dalam hatinya, ia sangat bahagia.

"Lalu setelah saya melahirkan?" tanya Nat langsung. Begitu ia ingat, isi dari surat perjanjian tadi.

Dafit mengangguk kecil. Ia tahu, kalau yang menjadi permasalahan Nat menolaknya, adalah---tentang keturunan. Kalau, Nat seperti perempuan di luaran sana, ia pasti mau mengandung anaknya. Tapi ini, Nat. Perempuan waras, yang menolak untuk mengandung anaknya. Seakan mengerti, Dafit berkata.

"Setelah kamu melahirkan, kamu bebas. Saya akan melepaskan kamu."

Nat terperangah. Ia akan di buang begitu saja? Apa ini adil? Namun Nat tidak bisa membantah lagi. Ia baru saja memutuskan.

"Baiklah." Lirih Nat.

Sekarang yang ada dalam otaknya adalah, apakah keputusan perempuan itu sudah benar?

Sekembalinya Nat, ia masih tidak percaya, kini dirinya berstatus sebagai--calon istri---dari Dafir, bosnya. Sebelum Nat meninggalkan ruangan Dafit, bosnya itu mengatakan kalau pernikahan mereka tidak lama lagi--yaitu dua minggu dari sekarang. Nat terkejut, tentu saja. Mengingat dua minggu lagi, merupakan pernikahan Rai dengannya--sebelum lelaki itu memutuskan pertunangan mereka.

Rasanya Nat ingin menangis. Seharusnya ia bahagia, karena Dafit membantu proses melupakan Rai--secara tidak langsung. Tapi, apakah ia benar-benar bisa bahagia karena menjadi istri dari seorang Dafit?

"Nat," panggil Ama berbisik. Sahabatnya itu terlihat penasaran, begitu melihat Nat kembali dari ruang Dirut. "Tadi abis ngapain?"

Nat menoleh. Perasaannya bimbang. Apa ia harus menceritakan permasalahan ini kepada Ama? Ataukah, menyimpannya seorang diri?

Menggeleng. Nat mencoba tersenyum se-natural mungkin, "abis ngebahas pekerjaan, Ma. Kan lo tau, belakangan ini lagi nggak stabil keuangan perusahaan." Elaknya.

Ama mengernyit. Seakan tak percaya, Ama kembali bertanya, "masa sih? Setau gue stabil kok."

Batin Nat meringis. Begini rasanya membohongi orang cerdas. Terlalu sulit.

Nat terkekeh garing, "ada deh, intinya masih pekerjaan, kok." Pekerjaan menjadi pengantin kontrak.

"Oalah.."

***

Dafit masih terus memandangi surat perjanjian mereka. Sudah lebih dari satu jam, matanya tak lepas dari surat perjanjian itu. Padahal isinya tidak akan berubah---kalau di pandangi terus.

Entahlah. Yang Dafit pikirkan, keputusannya sudah benar bukan? Karena dari seluruh kandidat yang di berikan Nyonya Anis, tidak ada satupun yang cocok dengannya. Begitu---setelah ia melihat karyawati kantornya--kecuali Nat, tentunya, yang masuk ke dalam kategori yang cukup pas.

Cukup.

Hampir mendekati kata sempurna.

Walau terbilang kejam, karena keputusannya sepihak---karena Nat, memang menolaknya. Tapi, Dafit rasa akan impas. Mengingat Nat, dicampakkan tunangannya.

Dicampakkan. Batin Dafit. Gadis secantik Nat-nya, dicampakkan. Masih tak percaya dengan apa yang di lontarkan Elang--tangan kanannya.

"Nona Sierra, memiliki tunangan, namun ia di putuskan, karena tunangannya akan menikah dengan Renata, yang notabenenya sepupu Nona Sierra."

Dafit jadi penasaran, secantik apa Renata di bandingkan dengan Nat---hingga tunangan Nat lebih memilih sepupu dari perempuan itu.

"Elang, tolong selidiki Renata." Kata Dafit tanpa basa-basi. "Bawakan profile-nya secara lengkap. Dan juga... mantan tunangan Natha." Tambahnya.

Di seberang sana Elang manggut-manggut. Menulis di buku agenda kegiatan. Mengikuti instruksi yang diperintahkan atasannya.

Tut.

Sambungan terputus. Sepertinya ini akan menarik. Elang menyeringai.

***

"Nat!" begitu sampai di rumah, suara saudara kembarnya menyambut. Memenuhi lantai dasar rumah mereka yang menggema.

Tanpa menjawab panggilan Net, Nat langsung menaiki tangga terbirit-birit. Mulutnya masih tidak mau berbicara, dengan Net. Kekesalannya masih di pucak teratas. Dirinya benar-benar merasa direndahkan, dengan ucapan Net semalam.

Net, begitu melihat Nat pulang, ia memanggilnya. Seperti biasanya. Namun, Nat sama sekali tidak menoleh. Hati Net, sebagai seorang Abang merasa sakit. Otaknya kembali memutar kejadian semalam.

Kata-katanya memang terlalu berlebihan. Lalu, ia harus bagaimana sekarang?

***

NATHANIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang