***
Di sini lah Nat. Satu mobil dengan Dafit yang mengendarainya. Nat menghela napas kesekian kalinya. Mencoba membenarkan posisi duduknya, karena ia tidak nyaman berada dalam satu mobil yang sama dengan Dafit.
Ujung mata Dafit berkali-kali mencuri pandang ke arah Nat. Bibirnya melengkung kecil, tanpa Nat ketahui. Jari-jarinya saling mengetuk kemudi mobil. Baru kali ini, Dafit berduaan dengan seorang perempuan. Tentu saja selain Nyonya Anis dan adik-adiknya.
"Kenapa? Sepertinya dari tadi, kamu enggan menatap wajah saya."
"Nggak papa." Jawab Nat pendek.
Satu alis Dafit naik. "Apa saya punya salah sama kamu?"
Punya. Banyak banget. "Nggak kok, Pak." Nat meringis pelan.
"Terus?"
"Terus apanya, Pak?" tanya Nat tak mengerti. Kapan berakhir ini semua?! Batin Nat mengerang.
Nat merasa tersiksa. Belum cukup rasa malunya, minggu lalu, karena ciuman mereka. Lalu kini, Nat harus di hadapkan dengan berbagai pertanyaan Dafit.
"Kenapa nggak mau menatap wajah saya?" Dafit mengulangi pertanyaannya, tanpa tahu bahwa yang di tanya tengah menahan rasa malu, kesal, disaat yang bersamaan.
"Nggak papa. Kan, tadi udah saya jawab." Lama-lama Nat juga kesal jadinya.
Dafit mengangkat kedua bahunya tak acuh. Kembali fokus pada jalanan. Sesekali masih mencuri pandang ke arah Nat.
"Kenapa gaya pakaian kamu, gitu sekali, sih?" tanya Dafit. Mencoba mencari celah agar ia bisa berbincang dengan Nat.
Nat menunduk. Menatap pakaian yang melekat di tubuhnya. Hanya sweater oversize dan denim jeans, di padukan dengan sneakers beserta topi yang dipakai terbalik.
"Ada yang salah?" tanya Nat aneh.
"Tentu. Kamu nggak bisa feminim sedikit, memangnya?"
Kening Nat makin mengkerut. Yang lagi di bahas Dafit ini apa sih? Nat merasa, pakaiannya sudah paling benar, paling tertutup.
"Kamu ini perempuan, coba jangan pakai, pakaian yang cool kayak perempuan swag. Rasanya kurang cocok dengan wajah kamu." Jelas Dafit.
Mulut Nat menganga. Tak lama ia bergerutu. "Suka-suka saya lah!"
Sontak Dafit langsung meliriknya tajam. "Kamu calon istri saya, Natha."
"Calon istri doang kan?"
Cittttt..
Tubuh Nat tersentak ke depan. Keningnya hampir saja mencium dashboard mobil, andai saja ia tidak memakai seatbelt. Matanya langsung mendelik tajam, begitu pula dengan Dafit.
Mereka saling mendelik. Dafit sendiri bingung, kenapa dirinya harus mengomentari cara berpakaian Nat? Lagi pula, memang benar, tidak ada yang salah dengan pakaian Nat. Namun sisi kiri Dafit berbisik, kalau pakaian Nat kurang feminim, dan Dafit tidak suka. Ia suka perempuan yang feminim.
Nat kesal. Jam tidur terganggu, waktu bebasnya terbuang sia-sia karena mengikuti ajakkan Dafit. Lalu kini, bosnya itu mengomentari cara berpakaiannya? Oh World! Apa yang salah?
"Calon istri doang, katamu?"
"Iya. Toh, bisa batal juga, kan." Sahut Nat enteng.
Tangan Dafit mengepal. "Jangan bercanda, Natha. Kamu nggak bisa membatalkan pernikahan ini begitu saja."
"Kenapa nggak bisa?" tantang Nat.
Dafit tersenyum miring, "bisa, kok. Asal siapkan uang ganti ruginya."
Nat tertawa remeh, "saya kan nggak ngerugiin Bapak, kenapa harus ganti rugi?" seharusnya Nat menanyakan ini lebih awal. Namun kenapa otaknya baru bisa memberikan pertanyaan kepada Dafit, sekarang?
Dasar otak lemot! Gerutu Nat.
"Karena kamu melanggar kontraknya." Dafit menatap Nat datar, "di sertai hukum, dan materai, apa itu nggak melanggar?"
Nat mati kutu.
Ayo puter otak, puter otak!
"Sudahlah." Dafit kembali menjalankan mobilnya, "kamu turuti saja kemauan saya, atau kamu mau ganti rugi?"
"..."
"Oh, sepertinya kamu ingin ganti rugi ya?" tanya Dafit lagi. Ia memojokkan Nat.
"Arghhh! Bapak menang! Puas!?" teriak Nat berang. "Dasar holkay. Bisanya menindas rakjel aja."
Dafit tersenyum puas.
***
Malam pun tiba. Sunday night yang menjadi nightmare bagi Nat. Matanya terus memandang pantulan yang sama di hadapan cermin. Seorang perempuan yang masih kusut, dengan pakaian yang sama sedari pagi. Rambut yang masih di kuncir kuda, namun beberapa helainya sudah keluar, menghiasi wajahnya yang menambah kesan kusut.
Nat cemberut menatap pantulannya. Kenapa hari berlalu dengan begitu cepat? Hari ini pertemuannya dengan keluarga Dafit, tiga hari lagi lamaran resmi, yang sudah Dafit bicarakan dengan keluarga Nat, dan seminggu lagi... Tiba lah nightmare.
"Kak Nat, Bang Dafit udah di depan." Suara adiknya memanggil.
Nat menghela napas. Waktunya masih tersisa banyak. Kenapa Dafit cepat sekali?
"Suruh tunggu, Dek." kata Nat.
Dengan cepat, perempuan itu mengambil pakaian ganti beserta handuknya dan memulai ritual mandi.
Setengah jam kemudian, pintu kamar Nat kembali di ketuk, "Kak, lama banget, sih. Noh, Bang Dafit udah suntuk nungguin lo." Ucap Aarhus dari balik pintu.
Nat mendengus, "kalo nggak mau nunggu, lo suruh pulang lagi aja orangnya."
Tak ada jawaban dari Aarhus. Maka secepat mungkin, Nat memoleskan make up tipisnya, tak lupa menyemprotkan tubuhnya dengan parfume kesayangan Nat di beberapa titik.
Yah, not bad lah. Pikir Nat setelah memandangi dirinya melalui cermin.
"Ayo, Pak!" ajak Nat begitu sampai di ruang tamu.
Dafit menoleh. Sedikit terpana dengan kecantikkan Nat yang terlihat alami, dengan dress yang tadi mereka beli.
Nat tampak seperti cinderella... yang turun dari kamarnya.
"Buru!" sentak Nat membuat Dafit tersadar.
Nat seharusnya tidak usah dipuji. Batin Dafit. Walaupun ia memang belum memuji Nat secara langsung.
Hei, see? Apakah Nat tidak ingin memuji Dafit yang tampak tampan malam ini? Boro-boro. Mata perempuan itu saja, belum meliriknya sama sekali.
Nat ada masalah apa sih hidupnya?
***
KAMU SEDANG MEMBACA
NATHANIA
Romansa[Follow sebelum membaca ya] [COMPLETED] *** "Lalu setelah saya melahirkan?" "Setelah kamu melahirkan, kamu bebas. Saya akan melepaskan kamu." Dan Nat tahu, setelah ini hidupnya tidak akan lagi sama. *** I HOPE YOU GUYS ENJOY❤ Start: 17 April 2020 ...