Part 6

20.1K 1.2K 6
                                    

***

Kepala Nat bergerak perlahan. Melihat siapa orang di balik suara itu. Siapa lagi kalau bukan Dafit, bosnya. Nat membalikkan badannya menghadap Dafit lalu membungkukkan badannya setengah. "Pagi, Pak." Nat menyengir demi menghilangkan kegugupannya.

Dafit menatap Nat datar. Tidak tertarik dengan ucapan selamat pagi darinya.

Nat menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Merasa di acuhkan, akhirnya Nat memutuskan untuk meninggalkan Dafit begitu saja dan berlari menuju lift.

Dalam hati Dafit tak menyangka jika dirinya di tinggalkan Nat, perempuan yang sebentar lagi akan menjadi istrinya.

Istri?

Ya, calon istrinya.

Dafit berdecak pelan. Merasa aneh dengan dirinya.

***

Sebelum Arfan keluar ruangan, Dafit mencegahnya. "Arfan, tolong panggilkan Seirra Nathania. Segera!" perintah Dafit yang di balas anggukan kepala.

Sambil keluar dari ruangan bosnya, dahi Arfan diam-diam mengerut tipis. Mengapa bosnya memanggil Nat lagi? Mengingat bahwa kemarin Nat keluar dari ruangan bosnya dengan wajah masam, apalagi Nat hampir satu jam berada di ruangan bosnya. Namun Arfan menampik pikiran tak benarnya. Mungkin saja mereka memang ada pekerjaan yang harus di bahas hingga selama itu.

Ya lebih baik Arfan berpikir positif.

"Sierra, kamu di tunggu Pak Dafit di ruangannya. Sekarang!" kata Arfan langsung setelah Nat mengangkat teleponnya.

Di seberang sana, Nat mendesah. Semoga saja Dafit lupa akan rencana laki-laki itu kemarin, untuk menjadikan Nat istri. Nat belum sanggup menghadapi semua yang akan terjadi. Sembari merapal doa, Nat tersenyum melihat Ama yang menatapnya penasaran. Nat memberikan tatapan 'gue baik-baik aja'.

Ama manggut-manggut. Melayangkan kepalan tangannya. Memberi semangat pada Nat yang sudah kedua kalinya di panggil oleh Dafit. Ama jadi penasaran, kenapa Nat kembali di panggil?

"Gue ke atas dulu, ya Ma." Pamit Nat.

"Oke."

Nat berjalan cepat. "Tunggu!" teriaknya begitu pintu lift akan tertutup. Seseorang di dalamnya menekan lagi tombol agar pintu lift tidak jadi tertutup.

"Terima kasih." Nat tersenyum. Sedikit ngos-ngosan.

"Sierra, silahkan masuk." Arfan membuka pintu ruangan Dafit begitu Nat sudah di dekatnya.

Nat mengangguk, mengucapkan terima kasih. Menarik napas. Merapal doa semoga Dafit lupa akan tujuannya memanggil Nat.

"Natha, silahkan duduk." Sambut Dafit datar. Ia bangkit dari kursi kebesarannya.

"Ada apa Bapak memanggil saya?" tanya Nat formal setelah ia duduk di sofa ruangan itu.

Dafit tersenyum tipis. Hampir tidak terlihat bahkan. "Kamu masih ingat yang kemarin, bukan?"

Nat pura-pura mengerut. Ternyata Dafit serius dengan ucapannya kemarin. "Yang mana ya Pak?"

"Kita langsung saja," kata Dafit mengabaikan kelupaan Nat. "Ini surat perjanjiannya. Saya sudah menghubungi pengacara saya, untuk membuat surat ini." Dafit menyodorkan amplop cokelat. "Silahkan di baca."

SURAT PERJANJIAN

Pihak pertama: Altara Dafit Sastrosatomo
Pihak kedua: Sierra Nathania

Point pertama:
Pihak pertama hanya menikahi pihak kedua selama satu tahun lebih dua bulan.

Point kedua:
Pernikahan antara kedua belah pihak harus di selenggarakan secara meriah.

Alis Nat terangkat begitu membaca point kedua. Meriah? Untuk sebuah pernikahan yang akan di jalani hanya satu tahun lebih sedikit itu, haruskah digelar secara meriah?

"Maaf, Pak. Tapi saya tidak setuju dengan point kedua." Tegur Nat.

"Kenapa?" tanya Dafit santai. "Itu permintaan orang tua saya. Mereka ingin pernikahan anak laki-lakinya dibuat semeriah mungkin. Tidak mungkin, jika saya tidak menuruti kemauan mereka." Jelas Dafit.

"Tapi--"

"Sudah tanda tangannya?" serobot Dafit. "Lakukan dengan cepat, Natha! You waste my time!"

Nat kembali fokus.

Point ketiga:
Pihak kedua tidak boleh mencampuri urusan pihak pertama, begitupun sebaliknya.

Point keempat:
Pihak kedua harus memberikan pihak pertama keturunan.

Point kelima:
Setelah pembuahan, tidak ada kontak fisik antara pihak pertama dan pihak kedua.

Point keenam:
Pihak pertama akan memenuhi seluruh kebutuhan pihak kedua.

Point Ketujuh:
Tidak boleh ada cinta antara kedua belah pihak.

Tanpa pikir panjang, Nat membubuhkan tanda tangan di halaman sebaliknya, tanpa membaca lebih teliti lagi.

"Saya masih boleh kerja kan, Pak?" tanya Nat.

Dafit mengangguk. "Hanya beberapa bulan sebelum kamu hamil. Namun setelah kamu hamil, saya akan pecat kamu."

"Nggak! Saya nggak mau hamil!" tolak Nat.

"Kamu tidak membaca point nya dengan teliti, Natha?" Dafit berucap dingin.

Cepat-cepat Nat membaca ulang setiap point nya. Detik itu juga, Nat merasa tidak bisa berbuat apa-apa.

Nat melempar asal kertas itu. "Nggak mau! Saya nggak jadi terima bapak."

Dafit menatap Nat dingin, "kamu sudah tanda tangan, Natha. Itu artinya, kamu tidak bisa menolak lagi."

Kepala Nat geleng-geleng. "Nggak!"

"Silahkan bayar kerugiannya, Natha, karena kamu melanggar kontraknya." Dafit menyenderkan tubuhnya. Bersekap dada. Menatap Nat yang mukanya sudah memerah.

Bos sialan. Umpat Nat.

"Fine! Saya akan bayar kerugiannya. Bapak tunggu saja." Putus Nat.

Seringai tipis milik Dafit muncul dengan sangat mengerikan. "Sampai kamu mati pun, kamu tidak akan bisa bayar, Natha." Ejek Dafit.

Nat menggeram tertahan. Dafit ternyata sungguh picik.

***

NATHANIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang