Part 14

16.3K 1K 9
                                    

***

Hari lamaran pun tiba. Nat sudah rapih dengan kebaya pilihan Mama Anya. Di dalam kamarnya, berkali-kali Nat menghela napas, mencoba menghilangkan perasaan menyesakkan.

Semoga keputusannya benar. Harap Nat.

Suara ketukan pintu, mengalihkan pikiran Nat. Di lihatnya Net yang sudah membuka pintu, dan menyembulkan kepalanya.

"Nat, aku masuk ya."

Akhirnya kemarahan itu surut juga. Nat sebenarnya sudah memaafkan Net, hanya saja rasa kesalnya masih ada.

"Masuk aja," kata Nat pelan.

Net masuk ke kamar Nat. Menatap saudara kembarnya dengan tatapan kagum. Tersenyum kecil, Net menghampiri Nat. Mengambil posisi duduk di dekat perempuan itu.

"Cantik, Nat."

"Makasih, Net."

Kepala Net mengangguk. Keadaan hening.

"Kamu mau ngomong apa?" tanya Nat.

Net terlihat terkejut. Kemudian menggeleng, sehingga Nat di buat bingung olehnya.

"Kamu siap sama ini semua, Nat?" akhirnya Net membuka suaranya.

Nat terdiam. Terlihat berpikir.

"Kalo masih belum bisa ngelupain dia--"

"Justru dengan ini, aku mau ngelupain dia, Net," potong Nat.

"Tapi... kamu nggak cinta sama Dafit, Nat."

Nat menghela napas pelan, "bukan nggak, tapi belum."

"Jadi, nggak ada yang perlu aku ragukan lagi, Net," lanjut Nat, menatap Net. Mencoba memberitahu lewat tatapan matanya, kalau keputusan Nat sudah tepat.

Walaupun aku nggak tau, Net, kedepannya akan seperti apa. Karena pada akhirnya, aku juga akan di buang. Batin Nat sedih.

Net menatap Nat ragu. Tetapi ketika melihat tatapan meyakinkan Nat, akhirnya Net pun mengalah. Bagaimanapun keputusan Nat, pasti Nat tahu yang terbaik buat dirinya.

"Maaf, nggak bisa membantu banyak. Aku hanya bisa membantu doa aja, Nat."

Kepala Nat mengangguk serta senyuman muncul di bibirnya. Tangannya menggenggam erat tangan saudara kembarnya.

"Nggak papa, justru kamu udah banyak bikin aku sadar. Thanks a lot, Net."

Net balik menggenggam tangan Nat. Menyalurkan kekuatannya. Ia berharap, Nat segera melupakan mantan sialannya itu, dan mencintai Dafit.

Dalam hati Nat, berharap semuanya berjalan bagaimana semestinya, tanpa ada salah satu hati yang harus tersakiti.

***

Lamaran resmi berjalan dengan lancar. Keluarga besar Nat di buat tak percaya dengan kedatangan keluarga Dafit. Bagaimana tidak? Hampir semua keluarga Dafit adalah eksekutif muda, tentu dengan jas, jam tangan yang melingkar, yang bisa di kisar harganya hingga bisa membeli mobil.

"Aduh... calon menantu Mama cantik sekali," kata Nyonya Anis. Matanya tak henti-hentinya menatap Nat yang berkali-kali lipat lebih cantik.

Nat tersenyum manis, "terima kasih, Tante."

Mendengar panggilan Nat, sontak Nyonya Anis cemberut, "panggil Mama juga, sayang, kayak Dafit. Masa masih panggil Tante aja."

Tertawa pelan, Nat pun mencoba mengubah panggilannya, "Ma-ma."

Senyum Nyonya Anis semakin melebar. Ia menarik Nat kepelukannya. Merasa terharu sekali. Padahal, sudah ada triplets perempuan yang memanggilnya Mama. Hanya saja kali ini sensasinya lebih berbeda.

Tangan Nat menepuk pelan punggung Nyonya Anis. Diam-diam ia meringis. Bagaimana kalau Nyonya Anis tahu, kalau pernikahan yang Nat dan Dafit jalankan hanya sebatas--untuk memenuhi keinginan Nyonya Anis saja?

Di sisi lain, Dafit sedang berbicara dengan Net. Sesekali matanya melirik Nat yang tampak lebih akrab dengan Nyonya Anis.

"Gue titip Nat, ya," pesan Net, menatap Dafit serius. Menepuk pelan pundak calon adik iparnya.

Dafit tersenyum tipis, "saya akan menjaganya," sahutnya tegas.

Mendengar jawaban Dafit yang begitu meyakinkan, membuat Net berpikir bahwa Dafit memang orang yang tepat, untuk membuat saudara kembarnya itu melupakan Rai.

"Gue ke sana dulu," pamit Net.

Sepeninggalan Net, kaki Dafit membawanya menuju tempat Nat berdiri. Ternyata di sana sudah tidak ada Nyonya Anis. Hanya ada Nat.

"Mama kemana?" tanya Dafit. Mengejutkan Nat.

Nat melirik sekilas. Jujur, hari ini Dafit tampak lebih tampan. Berkali-kali lipat tampan dari biasanya. Aura kelakiannya lebih mencuat.

"Oh.. itu di sana," Nat menunjuk segerombolan orang tua.

Mengikuti arah telunjuk Nat, kepala Dafit pun mengangguk.

"Bapak ngapain di sini? Nggak ngumpul sama yang lain?" tanya Nat.

Salah satu yang penting dari pernikahan adalah komunikasi, kan? Ok, walaupun mereka belum menikah, hanya saja, Nat ingin memulainya dari sekarang.

Dafit menggeleng, "kalo saya ikutan ngumpul, kamu di sini sama siapa?"

"Hh-hah?"

"Ck. Saya di sini ingin menemani kamu, Natha."

"Ke-kenapa?"

Dafit menatap Nat dari ujung kepala hingga ujung kaki. Lalu menatap tepat di manik matanya.

"Memangnya ada yang salah, dengan calon suami, menemani calon istrinya?"

Pertanyaan Dafit tidak langsung mendapat jawaban. Dalam hati, Nat berdoa semoga saja pipinya tidak memerah, karena kalau sampai itu terjadi, bisa di pastikan, ia akan sangat malu.

"Pipi kamu ternyata bisa memerah juga, ya?" celetukan Dafit menambah rona merah itu terlihat.

"Saya bercanda, Natha," Dafit menepuk pelan puncak kepala Nat.

Sialan. Sudah di buat melayang, kini, di hempaskan dengan kasar. Dasar bos sialan. Berbagai macam umpatan untuk Dafit, Nat layangkan.

Tanpa mereka ketahui, interaksi keduanya mengundang rasa tidak suka seseorang yang berdiri tidak jauh dari mereka. Tatapan matanya menyiratkan rasa penyesalan, juga ketidaksukaan.

"Menyebalkan!" sungut Nat dan berjalan meninggalkan Dafit.

"Hei, Natha, masa kamu mau ninggalin calon suami kamu ini!" seru Dafit cukup kencang.

Nat mengumpat habis-habisan. Memalukan. Hampir semua pasang mata sekarang menatapnya.

Arghh... Dafit sialan.

***

Dafit is only human, jadi dia juga bisa bercanda. emang garing sih, tapi bagi Nat itu ga garing:)

NATHANIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang