Part 8

18.1K 1K 5
                                    

***

"Net..."

Menghilangkan rasa kesal, dan rasa marahnya, Nat keluar kamar, menuju ruang keluarga, tempat di mana Net, menyapanya tadi. Ia memanggil saudara kembarnya.

Suara Nat masuk ke dalam indera pendengarannya. Net tidak salah mengenali suara itu bukan?

"Natha!" jerit Net saking senangnya. Akhirnya, Nat menyapanya.

Nat mengangguk. Mengambil posisi duduk, persis di sebelah Net. Memandangi televisi yang sedang menyiarkan tontonan anak-anak. Net masih saja suka little einstein, batin Nat.

"Kenapa Nat? Ada yang lagi di pikirin?" tanya Net, seolah tahu.

Nat diam. Masih memandang televisi di hadapannya dengan pandangan kosong.

"Nat."

Tangan Net menyenggol pelan pundak perempuan itu.

"Nathania."

Nat tersadar.

"Kamu kenapa Nat?" tanya Net. Ia merasa aneh dengan sikap Nat yang tiba-tiba. Belum lagi, pandangan kosongnya.

Menarik napas panjang, Nat menatap Net serius. Sedangkan yang di tatap, justru merasa tidak tenang. Apa Nat masih marah dengannya? Atau ada hal lain yang ingin Nat sampaikan?

"Gue mau cerita tentang ini, sama lo, karena gue tau, lo nggak akan ember." Kata Nat sebelum memulai ceritanya. "Jadi, lo jangan kasih tau siapa-siapa dulu. Gue nggak mau, kalo seluruh keluarga tau, dan akhirnya gagal lagi."

Pelan-pelan, kepala Net mengangguk kecil. Sepertinya Nat masih trauma, dengan kejadian beberapa minggu yang lalu.

"Gue mau nikah."

Mata Net membola. Menikah?

"Sama orang." Sambung Nat, begitu tahu apa yang akan di tanyakan Net.

"Kamu... udah ngelupain Rai?" tanya Net ragu.

Nat terdiam. Benarkah dirinya sudah melupakan Rai?

"Belum."

"Kalo belum, kamu nggak bisa nikah gitu aja, Nat!" sentak Net.

Alis Nat menukik tajam, "kenapa?"

"Kasian dia, kalo kamu menikahinya tanpa cinta."

Memang seperti itu keadaannya, Net. Bahkan di antara mereka tidak ada cinta---bukan hanya Nat saja.

"Dan lo nggak lupa kan, kalo cinta bisa tumbuh kapan aja?"

"Iya, aku tau. Tapi..."

Net menghentikan ucapannya. Ia tidak mau membuat masalah lagi, hingga Nat marah padanya. Sekarang saja--buktinya Nat masih marah dengannya--terbukti dari panggilan Nat untuknya.

"Ini keputusan gue, Net. Tolong hargai." Pinta Nat. "Gue akan secepatnya melupakan Rai. Lo tenang aja."

Net pasrah. Ia hanya bisa mengangguk. Mendoakan yang terbaik untuk Nat. Jika memang saudara kembarnya itu memilih untuk menikah, maka Net akan mendukungnya. Apapun asal Nat bahagia.

"Apapun keputusan kamu, aku selalu doakan yang terbaik untuk kamu, Nat." Kata Net. Ia bangkit, meninggalkan Nat yang masih terpekur.

Benarkah keputusannya ini? Batin Nat kembali bertanya-tanya.

Ya. Keputusannya sudah benar.

Demi melupakan Rai. Batin Nat yang lain berbisik.

***

Nyonya Anis menatap Dafit terus-menerus, selama makan malam berlangsung. Matanya tak lepas dari anak sulungnya. Tuan Denis yang melihat itu, tentu merasa kalau Nyonya Anis berlebihan.

"Ma.." tegur Tuan Denis. "Jangan berlebihan," ingatnya.

Nyonya Anis cemberut. Memangnya apa yang salah dengan kebahagiaannya? Toh, Nyonya Anis hanya ingin punya menantu, dan cucu. That's it.

Sembari menyantap makanannya, diam-diam Dafit berterima kasih pada Tuan Denis. Ibunya itu memang terlalu berlebihan sekali.

"Cepat abiskan makanannya, lalu jangan ganggu Dafit." Kata Tuan Denis menyentak Nyonya Anis.

Demi menjadi istri yang patuh akan suami, kepala Nyonya Anis mengiyakan. Ia makan dalam diam, sambil sesekali melirik Dafit yang tampak santai.

Anaknya ini tidak mau berbicara tentang menantunya apa? Batin Nyonya Anis. Kecut. Ia hanya takut di beri harapan palsu saja, oleh Dafit.

Setelah selesai makan, Nyonya Anis masih duduk. Menatap Dafit, seolah memberi kode bahwa laki-laki itu harus menepati janjinya.

"Daf." Panggil Nyonya Anis.

Kedua laki-laki beda umur itu menoleh. Jika Dafit dengan tatapan datarnya, lain dengan Tuan Denis yang menatap istrinya penuh peringatan.

Pasti tidak jauh-jauh dari menantu. Batin Tuan Denis.

Nyonya Anis mengode lewat tatapannya. Sedangkan yang di kode berkali-kali mengernyit bingung.

Lalu seakan tersadar, Dafit mengangguk kecil. "Iya, nanti Dafit bawa Nat ke hadapan Mama."

Mata Nyonya Anis berbinar bahagia. Dirinya memeluk Tuan Denis dari samping. Menyatakan secara tidak langsung kalau dirinya bahagia.

"Jadi namanya, Nat?" tanya Nyonya Anis. Masih setia memeluk Tuan Denis.

"Hm."

"Ya ampun Pa, Mama bahagia banget!!" Nyonya Anis tergelak. Tuan Denis menggelengkan kepalanya. Masih tidak berubah.

"Minggu depan, bawa dia makan malam bersama ya, Daf." Tiba-tiba Tuan Denis menyahut.

Tentu bukan hanya Nyonya Anis saja yang bahagia, dirinya pun tak kalah bahagia. Namun, Tuan Denis masih bisa mengendalikan ekspresi bahagianya. Tidak seperti Nyonya Anis yang terlalu blak-blakkan.

"Oke."

Hanya itu jawaban Dafit. Tidak bertele-tele, namun mampu membahagiakan hati Nyonya Anis.

***

NATHANIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang