Part 5

23.9K 1.1K 4
                                    

***

Nat menghempaskan tubuhnya kasar. Matanya menatap langit-langit kamar. Kakinya bergerak-gerak kecil. Pikirannya melayang ke beberapa jam yang lalu. Apa keputusannya sudah benar? Apa Nat memang harus menerima Dafit--yang notabene nya bosnya, untuk menjadi suaminya?

Nat pusing. Belum sembuh luka di hati, kini harus di tambah luka yang lain lagi. Mengapa semuanya harus terjadi pada satu waktu? Nat merutuki nasibnya yang sial. Seharusnya semua berjalan sesuai keinginannya. Tapi Rai, datang dengan membawa bom waktu yang hancur pada saat itu juga.

Kehilangan kepercayaan diri. Itulah yang Nat rasakan selama dua minggu kemarin, dan mungkin sekarang pun masih sama. Belum lagi, Dafit, bosnya itu memaksanya. Membuat Nat mau tak mau menerima lamarannya agar bisa keluar dari ruangan terkutuk itu.

Sesak sekali dada Nat. Mengingat ucapan Dafit tadi siang. Surat perjanjian. Begitu kata Dafit. Apa mereka akan menikah di atas hitam dan putih? Kenapa rasanya sakit sekali? Sakitnya melebihi--sakit dicampakkan oleh Rai.

Nat menghela napas. Tidak boleh terpuruk lagi, Nat. Semuanya akan Nat hadapi esok hari.

Ini bukan lagi tentang Rai dan Nat. Namun tentang Nat dan Dafit.

***

"Dafit!" suara Nyonya Anis memanggil masuk ke dalam telinganya.

Mau tak mau Dafit berhenti. Menatap Nyonya Anis, namun tak mengeluarkan suara sedikit pun.

"Kata Naila, kamu nggak dateng ya?! Kenapa kamu nggak dateng untuk bertemu Naila, Dafit?" tanya Nyonya Anis kesal. Pasalnya ia sudah membuat janji dengan Naila untuk mempertemukannya dengan Dafit.

"Kan Mama yang buat janji dengannya. Terus kenapa jadi Dafit yang harus ketemu?" satu alis Dafit terangkat dengan kurang ajar.

"Enak aja! Mama itu buat janji dengan Naila, ya buat kamu, Dafit. Bukan buat Mama," sebal Nyonya Anis.

Dafit mengangkat kedua bahunya tak acuh. "Udah Dafit bilang, kan, kalo Dafit nggak suka dijodoh-jodohin kayak gini. Dafit masih bisa cari istri sendiri, Nyonya."

Mata Nyonya Anis berkaca-kaca, "tapi, Mama mau punya mantu, Dafit.."

Sabar.

Dafit menarik napas pelan, lalu mengeluarkannya kasar. "Nanti, Dafit yang akan bawa dia ke hadapan Mama. So, stop untuk menawarkan Dafit sama anak teman-temannya Mama."

"Kamu serius?" mata Nyonya Anis berbinar. "Akhirnya Mama bakalan punya mantu!" teriaknya bahagia.

"Udah kan? Dafit mau ke kamar dulu, mau istirahat." Pamit Dafit. Tanpa mendengar jawaban Nyonya Anis, ia pergi bergitu saja.

"Akhirnya!" Nyonya Anis masih terus berbahagia. Wanita paruh baya itu mengambil handphonenya untuk menelepon sang suami.

"Halo?"

"Papa! Akhirnya kita bakalan punya cucu, Pa!"

Dari dalam kamarnya, Dafit masih bisa mendengar dengan jelas suara menggelegar milik Nyonya Anis.

Dalam hati, Dafit berdecak. Menikah saja belum, Nyonya Anis malah langsung memikirkan cucu.

***

Keesokan harinya, Nat bangun dengan badan fit luar biasa. Karena beberapa minggu kemarin, Nat selalu bangun dalam keadaan kurang fit. Jika apa yang ada di pikiran kalian tentang Rai, tentu saja benar.

Rai, mampu membuat dunia Nat benar-benar hancur karena laki-laki itu.

"Nat," gedoran pintu dan suara Net saling bersahutan.

Nat membuka pintu. "Apa?" tanya Nat datar.

Net meneguk ludah. Nat masih menjadi Nat yang semalam. Menyeramkan.

"Mau berangkat bareng nggak?" tanya Net pelan.

"Nggak."

Brak.

Pintu kamar Nat kembali tertutup. Pas sekali di depan hidung mancung Net. Untung saja hidungnya selamat. Jika tidak, oh Net tidak berani membayangkannya.

Nat kembali menekuri dirinya di atas kasur. Masih jam setengah enam, artinya masih ada beberapa jam lagi sebelum ia masuk kantor. Tanpa sadar matanya kembali tertutup. Masuk ke alam mimpi yang mampu memberikan kebahagian untuknya daripada saat Nat terbangun dan menghadapi kenyataan dunia.

"Natha! Natha!" gedoran kembali terdengar. Namun tidak mampu membangunkan perempuan itu.

"Nat!" disusul teriakan Mama Anya.

"Nat bangun! Ini udah jam tujuh, Natha!" teriakan Net dan Mama Anya terdengar. Sayangnya Nat terlalu asik bermimpi.

Srek.

Pintu terbuka kasar. Net terlihat ngos-ngosan karena harus berlari menuju paviliun, tempat di mana kunci cadangan setiap kamar ada di sana. Sedangkan Mama Anya hanya menatap tak percaya pada anak gadisnya.

"Natha! Bangun. Anak gadis kok jam segini masih tidur!" Nat membuka matanya perlahan. Terkejut melihat Mama Anya dan Net yang sudah berada di kamarnya.

"Kenapa sih? Ganggu aja deh." Gumam Nat. Masih belum sadar. Namun ketika matanya melihat Net yang sudah siap dengan kemeja kantornya, mata Nat sepenuhnya melek.

"Mama! Kenapa nggak bangunin aku!?" Nat bangun tergesa-gesa hingga menubruk kaki meja. Ia meringis, mengusap pelan ujung jari kakinya, lalu masuk ke toilet untuk membersihkan dirinya.

Gila. Kalau begini jadinya, harusnya Nat tidak perlu melanjutkan tidurnya lagi.

Nat menuruni tangga tergesa-gesa. Menyalami Mama Anya yang berada di ruang televisi. Mengambil setangkup roti bakar, lalu berlari menyusul Papa Sam.

"Dasar anak gadis." Geleng Papa Sam.

"Ayo Papa, nanti kita telat." Teriak Nat yang sudah lebih dulu berada di samping kemudi.

"Makanya Nat, kalo udah bangun tuh, jangan tidur lagi. Jadi kebablasan, kan." Ceramah Papa Sam sambil mengemudi.

"Ah Papa, buruan deh. Nanti aja ceramahnya. Nat udah telat, nih."

Papa Sam berdecak. "Makanya, kamu sih sombong nggak mau kerja di kantor Papa, jadi gini kan."

"Bukan gitu, Pa. Nat mau mandiri."

"Kalo telat kayak gini sih, mana bisa di bilang mandiri."

"Papa!" teriak Nat kesal.

Papa Sam tertawa. Mengacak rambut Nat.

"Aku duluan Papa. Hati-hati di jalan," Nat mencium tangan Papa Sam, begitu Papa Sam menghentikan mobilnya tepat di depan lobby kantornya.

08.10 WIB

Melirik jam Fossil di pergelangan tangannya, seketika Mata Nat melotot. Papa Sam terlalu pelan bawa mobilnya. Dan kini ia menyesal, mengapa ia harus gengsi pada Net?

"Anda telat, Nyonya."

Rasanya Nat ingin tenggelam sekarang juga.

***

NATHANIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang