Part 12

16.6K 1K 4
                                    

***

Nyonya Anis berdiri di ambang pintu rumah. Sangat antusias sekali menyambut kedatangan calon menantunya. Matanya terus berbinar. Hampir satu jam berdiri, namun tidak lelah. Tetap setia berdiri sampai anak dan calon menantunya datang.

Padahal, ini bukan pertama kalinya Nyonya Anis kedatangan menantu. Sudah dua anak perempuannya, yang menikah, lalu sekarang anak laki-laki satu-satunya di keluarganya akan menyusul kedua adik perempuannya, dan satu perempuan lagi yang masih stuck di tempat.

Namun kali ini, sepertinya sangat spesial, karena laki-laki satu-satunya di keluarganya lah yang akan menikah. Anak sulungnya, yang selama ini tak pernah mengenal kata pacaran, yang akan menikah. Sungguh bahagia hati Nyonya Anis.

Tidak perlu dijabarin bagaimana bahagianya. Terbukti dari penyambutan yang tidak biasa, hingga semua anak-anaknya, beserta para menantunya yang lain, turut di undang. Berbagai makanan menghiasi meja makan, malam ini.

Suara deru mobil memasuki pelataran rumahnya, membuat Nyonya Anis menjadi lebih semangat. Tak sabar, bertemu dengan calon menantunya.

"Assalamu'alaikum, tante." Salam Nat begitu sampai di hadapan Nyonya Anis.

"Wa'alaikumussalam. Natha ya?" Nyonya Anis berkata riang. Menyambut Nat dengan hangat.

Dalam hati, Nat bertanya-tanya. Ini beneran Ibunya Dafit--bosnya? Kenapa beda sekali dengan anaknya. Begitu menyebalkan, dan datar seperti papan trpilek.

"Iya, tante." Nat mengangguk. Membalas senyuman Nyonya Anis.

"Aduhhh.. kamu cantik sekali. Ayo-ayo, masuk." Tanpa menunggu Dafit, Nyonya Anis menarik tangan menantunya.

Dafit yang baru turun dari mobil, berdecak. Seharusnya Dafit yang disambut dengan hangat, bukannya Nat. Dafit tak habis pikir, bisa-bisanya ia dilupakan oleh Nyonya Anis. Tapi tak urung ia pun masuk untuk menyusul keduanya.

***

Nat tak bisa menutupi rasa kagumnya. Dinding rumah Dafit penuh dengan foto keluarga, kata-kata mutiara yang menenangkan. Dindingnya di cat dengan warna cerah, sehingga membuat siapapun yang melihatnya merasa aman, nyaman, dan tentram.

Beginikah aslinya keluarga dari Dafit?

Kenapa bertolak belakang sekali dengan Dafit? Ruang kantor yang mencekam, warna yang jauh dari kata cerah.

Bagaimana ya dengan kamar Dafit? Tanya Nat dalam hati. Apakah mencekam seperti di kantor, atau cerah seperti rumah ini?

"Ayo duduk, Natha." Suara lain menyambutnya sesampainya di ruang makan.

Nat mengernyit tipis. Siapa perempuan cantik ini?

Seakan mengerti, perempuan di depannya itu mengulurkan tangannya, "aku Dania, adiknya Bang Daf." Kenalnya.

Kepala Nat mengangguk. Cantik. Ramah juga. Dafit keturunan siapa ya bisa menjadi seperti itu?

Nat mendaratkan bokongnya. Di meja makan, baru ada dirinya, Nyonya Anis, dan Dania.

"Dan, panggil yang lainnya kesini." Perintah Nyonya Anis.

Dania mengangguk. Pergi menjauh, meninggalkan Nat dan Nyonya Anis.

Di meja makan tersedia berbagai makanan. Nat menggeleng pelan. Banyak banget. Pikir Nat.

"Ini semua kemauan Nyonya Anis, jadi jangan aneh." Suara di telinga kanan Nat, membuat perempuan itu terkejut.

Dilihatnya Dafit yang mengangkat kedua bahunya tak acuh, duduk di samping Nat. Tampak santai, tak terganggu sedikitpun. Malam ini, Nat melihat sisi Dafit yang lain. Biasanya ia hanya melihat Dafit dengan pakaian formalnya saja, namun sekarang tak ada lagi Dafit dengan pakaian formal. Hanya kemeja dengan celana bahan bewarna grey.

Saking asiknya mengamati Dafit, Nat sampai tak sadar kalau Nyonya Anis sudah cekikikan dibuatnya.

"Natha, jangan ditatap terus Dafitnya. Dia nggak akan kabur." Kata Nyonya Anis geli.

Nat terkejut. Semua mata menatapnya geli. Begitupun dengan Dafit. Ia menundukkan kepalanya. Meringis dalam hati.

Dafit memajukan tubuhnya, "saya malam ini memang tampan, ya? Sampe kamu menatap saya begitu." Bisiknya semakin membuat Nat menunduk dalam.

Bos sialan.

"Udah, udah, jangan ngeledekin Natha." Suara pria penuh wibawa, menengahi keduanya.

Nat mengangguk. Kini gantian ia yang memajukan tubuhnya kearah Dafit, dikala semua orang di meja makan sedang lengah, "Kata siapa? Bapak biasa aja kok."

Mendengar ucapan Nat, kekesalan Dafit memuncak. Apa salahnya mengakui kalau Dafit tampak tampan malam ini? Gerutu Dafit.

1-0, Pak. Nat menyeringai.

***

NATHANIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang