Part 10

20.9K 1K 7
                                    

***

Arfan mendongak begitu mendengar pintu ruangan Dafit terbuka. Menatap Nat yang keluar dari ruangan Dafit, dengan tampang kesal, rambut yang masih acak-acakkan, dan lipstick yang sedikit... belepotan?

Pikiran Arfan melalang buana. Hampir satu jam ia menunggu bosnya, yang ternyata sedang bersama Nat, lalu sekarang apa? Nat terlihat, keluar dari ruangan Dafit dengan muka memerah dan acak-acakkan.

Kaki Nat masih menghentak-hentakan lantai. Sial! Ia kecolongan.

"Nona." Panggilan Arfan membuat Nat berhenti.

Nat menatap sekretaris Dafit itu dengan tatapan bertanya. Arfan tersenyum canggung, lalu menggeleng.

"Aneh." Gerutu Nat.

Cklek.

Tak lama, keluar lah Dafit dengan keadaan yang serupa. Dan itu semakin membuat pikiran Arfan benar-benar blank.

"Fan, kegiatan saya siang ini apa?" tanya Dafit seraya mendekati Arfan.

Arfan gelagapan. Ia mengangguk, dan mengecek jadwal Dafit yang sudah disusunnya. Tangannya bergerak, menggerakkan mouse, "tidak ada, Pak."

Dafit mengangguk. Memakai jasnya. Arfan diam-diam mengamati bosnya. Dan matanya tertuju pada sudut bibir Dafit yang terlihat merah. Bisa dipastikan merah itu, bukan merah alami, melainkan... lipstick?

"Engggg... Pak?" Arfan memanggil gugup.

"Ya?"

Telunjuk Arfan menunjuk sudut bibir Dafit, yang tampak merah. "Itu.. Pak?"

Kedua alis Dafit terangkat, "apa?"

Kasih tau tidak ya? Batin Arfan bertanya-tanya. Pasti ini semua ada hubungannya dengan Nat, yang keluar dari ruangan Dafit, dengan tampang kesal.

"Di sudut bibir Bapak, ada lipstick." Cengir Arfan. Mengecilkan suaranya ketika menyebutkan kata lipstick.

Mata Dafit membola. Tangannya bergerak cepat membersihkan noda bekas ciumannya dengan Nat. Malu sekali, kepergok dengan sekretaris yang sifatnya tak beda jauh dengannya.

"Sudah hilang?" tanya Dafit untuk memastikan.

"Belum, Pak."

Dafit bergerak gelisah. Tangannya masih terus mencoba, untuk menghapuskan noda itu. Natha-nya pakai lipstick apa sih? Kenapa susah sekali dihilanginnya. Gerutu Dafit dalam hati.

Arfan menahan tertawa. Melihat bosnya kepergok olehnya sendiri, hingga berusaha keras menghapus noda tersebut.

"Kalo kamu mau ketawa, ketawa saja." Ucap Dafit datar.

Sontak saja perkataannya, membuat Arfan terdiam.

"Sudah hilang?" tanya Dafit sekali lagi.

Sepertinya ide bagus.

"Belum, Pak. Malah makin melebar." Arfan meyakinkan Dafit, bahwa noda tersebut belum hilang.

Dafit bingung. "Serius?"

Arfan manggut-manggut.

Ia yang percaya begitu saja, lantas berjalan kembali menuju ruangannya, untuk melanjutkan--membersihkan noda tersebut di kamar mandi.

Setelah kepergian Dafit, Arfan tertawa. Sesekali menjahili bos sendiri sepertinya bukan hal yang buruk.

***

Minggu pagi menjadi pagi yang buruk dalam sejarah Nat. Tepat pukul sepuluh pagi, Nat sudah dikejutkan dengan kedatangan Dafit di rumahnya. Bosnya itu sedang duduk santai di ruang keluarga, dengan secangkir teh panas yang menemaninya. Lalu ada tumpukkan majalah bisnis, yang bisa di pastikan milik Papa Sam, yang sedang di baca oleh Dafit.

Mata Nat melebar. Tangannya mengucek-ngucek, masih tidak berubah. Bosnya masih duduk di sana. Mengerjap berkali-kali, menepuk pipinya pelan, dan masih tidak berubah. Itu beneran Dafit kan? Batin Nat.

"Ngapain anda di sini Pak?" Nat langsung bertanya begitu sampai di hadapan Dafit. Matanya tidak menatap Dafit, melainkan menatap sekeliling rumahnya. Masih tidak nyaman perihal kejadian yang terjadi minggu lalu dimana Dafit...

Dafit mengalihkan pandangannya dari majalah, "jemput kamu." Ujarnya memotong memori Nat.

Kening Nat berkerut tipis, "jemput?"

Kepala Dafit mengangguk.

"Emang saya ada acara dengan anda, Pak?"

Kepala Dafit mengangguk lagi.

"Sejak kapan?" Kali ini Nat menoleh. Sekilas. Lalu kembali membuang pandangan.

"Cepat mandi! Waktu kita hanya beberapa jam, Natha." Seru Dafit kesal. Hampir satu jam lebih, ia menunggu Nat, namun perempuan itu belum bangun juga dari tidurnya.

"Saya nggak mau." Tolak Nat.

Dafit menggeram. "Kamu nggak lupa, kan, hari ini makan malam dengan keluarga saya?"

"Nggak. Saya inget, kok."

"Ya sudah, cepat mandi, agar kita cepat pergi."

"Idih, emang mau ngapain sih?"

Dafit yang merasa kesal, lantas berjalan menuju Nat dan mendorong pelan bahu perempuan itu. "Nggak usah banyak tanya, Natha."

"Hah? Ee-eh mau ngapain, Pak?"

"Mau dorong kamu ke kamar mandi. Cepat!"

Nat memberengut. Seharusnya Minggu ini, ia bebas tidur sepuasnya hingga sore menjelang malam, namun apa sekarang? Ia harus terjebak dengan Dafit!

Bos yang paling menyebalkan.

"Iya-iya. Udah, nggak usah dorong-dorong saya!" Nat menyentak kasar tangan Dafit yang masih bertengger di pundaknya.

"Good. Just 15 minutes. Saya tunggu."

Apa katanya? lima belas menit?

"Nggak! Kasih saya setengah jam. Masa iya cuma 15 menit."

"Terserah. Saya hitung dari sekarang. Kalo lama, kamu, saya tinggal!"

Namanya juga bos. Tidak di kantor, tidak di jam kerja, pasti kerjaanya merintah seenaknya.

****

NATHANIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang