Part 15

18.2K 1.1K 10
                                    

***

"Saya terima nikah dan kawinnya Sierra Nathania Butcher binti Sam Butcher dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai."

"Bagaimana saksi? Sah?" tanya penghulu.

"SAH!!!" suara serempak para saksi terdengar sampai kamar Nat.

Tak menyangka hari ini pun tiba. Hari dimana Nat di lepas oleh Papa Sam untuk diberikan kepada suaminya. Dafit. Mata Nat memerah, menahan tangis. Merinding mendengar suara Dafit saat ijab. Tetapi MUA nya bilang, kalau ia tidak boleh menangis. Bisa luntur make up yang sudah susah payah MUA kerjakan. Jadi lah mata Nat yang memerah.

"Nat," panggil Mama Anya. Wajah beliau penuh air mata, "anak Mama udah besar sekarang. Udah nikah," tambahnya. Mama Anya menyiumi kening anak perempuan satu-satunya, "nurut sama suami, ya. Jangan ambil keputusan yang gegabah, gimanapun keadaannya. Selalu pakai kepala dingin ya, Nat," pesan Mama Anya. Beliau nangis tersedu-sedu.

Hampir 24 tahun bersama Nat, nyatanya membuat hati Mama Anya cukup tak rela melepaskan anak perempuannya. Waktu berjalan dengan cepat. Kala Mama Anya menggendong si kembar, menggedong Nat untuk pertama kalinya, masih teringat jelas di benak Mama Anya. Semua memori saat menjadi Ibu untuk pertama kalinya berputar di otaknya. Dan sekarang, ia harus melepaskan Nat untuk Dafit.

"Inget selalu, kalau Mama sayang kamu, Nat," ucap Mama Anya. Pelukannya mengetat.

Nat tak kuasa menahan tangis. Ia akhirnya meluruhkan pertahanannya. Air matanya berjatuhan, membasahi pundak Mama Anya.

Noneng--MUA yang di sewa keluarga Butcher itu berteriak heboh, "aduh... Cyin, kan eike udah bilang, jangan nangis. Rusak deh make up yey," kata Noneng histeris.

Mama Anya melepaskan pelukannya. Ia menghapus air mata yang membasahi wajah Nat. Tersenyum mendengar ucapan Noneng.

"Maaf ya Neng, nih silahkan dibetulin lagi," Mama Anya tersenyum. Ia mendorong bahu Nat pelan.

"Siyap... Udah ah, yey udah cantik, nggak boleh nangis-nangis lagi."

Nat terkekeh. Hatinya sesak. Takut dan bahagia menjadi satu.

Noneng akhirnya membenarkan make up Nat, setelah kembali benar, Nat pun diajak Papa Sam dan Mama Anya untuk turun menemui suaminya. Nat berjalan menunduk. Tak berani menatap sekelilingnya.

"Jangan nunduk terus, Nak," bisik Papa Sam, "ayo samperin suamimu."

Nat mengangguk pelan. Mengikuti perintah Papa Sam. Ia mendongak. Di sana. Suaminya. Bosnya. Berdiri dengan setelan jas yang melekat pas di tubuhnya. Tampan sekali. Bisik Nat. Andai pernikahan mereka terjalin sebagaimana mustinya, Nat pasti akan beribu kali lipat bahagia.

Sesampainya di samping Dafit, ia bingung harus ngapain. Menatap Dafit dan penghulu secara bergantian.

"Dicium tangan suaminya, Mbak," ucap penghulu pada Nat.

Nat menatap Dafit terkejut. Seolah tahu, Dafit mengulurkan tangannya untuk Nat cium. Perempuan yang resmi menjadi istrinya sejak beberapa menit yang lalu itu mencium tangannya takzim. Cantik sekali. Batin Dafit.

"Sekarang pasang cincinnya, Mas," penghulu lagi-lagi memberi arahan kepada dua orang di hadapannya itu.

Pas. Pikir Nat. Padahal mereka tidak melakukan fitting cincin, tetapi kenapa momennya sangat pas sekali? Cincin itu terlihat pas. Sangat cantik melingkar di jari manis Nat. Gantian--kini Nat memasangkan cincinnya di jari manis Dafit.

Semua kegiatan itu tak luput dari satu orang di tengah keramaian dengan pandangan sedih. Kalau saja waktu bisa diputar...

***

Nat tercengang. Di hotel yang keluarga Dafit sewa, pernikahannya sangat-sangat meriah. Ia sebenarnya risih. Berbagai media sampai meliput pernikahan mereka. Kepala Nat menggeleng tak percaya. Dafit pun melakukan hal yang sama.

Kerjaan siapa lagi ini kalau bukan Nyonya Anis. Pikir mereka.

"Ayo jalan," kata Dafit seraya menggenggam erat tangan Nat.

Perempuan itu tersentak. Menatap tangannya yang berada di genggaman Dafit. Pas. Nat menyunggingkan senyum tipisnya.

Mereka berjalan beriringan seraya bergandengan tangan. Senyum Nat mengembang tipis, tapi tidak dengan Dafit. Wajahnya datar seperti hari-hari biasa. Namun siapa sangka jika dirinya merasakan euphoria yang sama dengan Nat. Hanya saja laki-laki itu lebih memilih menyembunyikan euphorianya.

Berbagai kamera menyorot keduanya. Tak lepas dari kedua pengantin pemilik acara meriah ini. Karyawan Sastro Corp sampai tercengang dibuatnya. Mereka sempat tak percaya jika bos yang terkenal pendiam, datar, dan dingin itu menikah. Karena setau mereka, Dafit jarang sekali terlibat dengan perempuan manapun. Hanya rekan kerja yang sering datang ke ruangan bosnya itu.

Di pojok sana Arfan menyunggingkan senyum tulus. Mendoakan kebahagiaan bosnya dan Nat. Di sampingnya ada Ama yang masih menuntut penjelasan. Sahabat Nat itu dari tadi selalu mengintili Arfan, untuk mendapatkan penjelasan. Tetapi Arfan, tidak ingin menjawabnya.

"Kamu tanyakan saja pada Nona Sierra," kata Arfan waktu Ama terus mengikutinya.

Di belakang pelaminan ada kedua mata Elang. Menyesap minuman sambil mengamati gerak-gerik kedua mempelai. Dan juga ia sedang menjalankan perintah bosnya.

"Kok Nat bisa dapetin yang lebih dari Rai sih, Ma?" suara perempuan membuat Elang melirik. Mengamati mereka dalam diam.

"Kamu sih! Siapa suruh hamil duluan! Jadi dapetnya Rai kan, si miskin itu," suara satunya terdengar menyalahi sang perempuan muda.

Hamil? Elang menyunggingkan senyum sinis.

"Sudah sana, salamin pengantinnya. Sekalian Mama mau kenalan sama suaminya Nat." Mereka pergi meninggalkan Elang. Laki-laki itu menaruh asal gelasnya, dan mengikuti keduanya dari belakang.

Nat dan Dafit bergantian menyalami tamu. Hampir ribuan tamu memenuhi hotel--tempat resepsi mereka. Bejibun. Sangat penuh sampai rasanya Nat pusing sendiri. Tangannya sudah pegal. Kakinya pun sudah encok. Minta untuk diistirahatkan. Namun Nyonya Anis tidak ingin kedua mempelai itu istirahat sebelum waktu resepsi selesai. Sehingga Nat dan Dafit hanya sesekali mencuri kesempatan untuk duduk.

"Hai Nat, selamat atas pernikahannya."

Ucapan selamat yang terdengar tak tulus memenuhi indera pendengaran Nat. Ia melirik malas ke arah Renata. Sepupu yang sangat membenci dirinya. Alasannya karena apa? Tentu saja karena Nat lebih unggul dibandingkan Renata.

"Makasih," jawab Nat sambil tersenyum tipis.
Renata tak bisa menyembunyikan keterkejutannya begitu melihat wajah mempelai lelaki dari dekat. Ia menyumpahi Nat. Lagi-lagi Nat unggul. Suaminya Nat itu sangat tampan sekali, bahkan Rai saja kalah.

"Oh hai, selamat ya atas pernikahannya," kata Renata manis dengan senyuman manis pula.
Dafit mengangguk. Tak membalas uluran tangan Renata. Ia hanya memandang malas uluran tangan perempuan di hadapannya itu.

Renata berdeham canggung sambil menarik kembali tangannya. Sial! Batin Renata. Nat yang melihat kelakuan Dafit sontak terkikik geli.

Gue aja yang jadi istrinya susah ngadepin nih orang. Eh lo lagi yang bukan siapa-siapa. Ejek Nat dalam hati.

"Kamu kenapa?" tanya Dafit. Ia melirik perempuan yang sudah menjadi istrinya itu dengan tatapan bingung.

Nat menggeleng. Tersenyum lebar.

"Dia sepupumu itu kan? Yang ngambil mantan tunanganmu?"

Tubuh Nat berubah kaku. Tak ada yang lebih menyakitkan daripada---ketika diingatkan kembali dengan hal yang berusaha Nat kubur mati-matian.

***

akhirnya mereka nikah!

pertanyaan Dafit emang asem bener:)

NATHANIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang