Quartus

1.6K 252 151
                                    


}÷{

Kelopak mata yang terbuka letih itu mengendar ke seluruh penjuru yang dapat ia gapai. Entah itu bentangan langit yang luas tak berujung, gedung-gedung tinggi yang berjejer padat mencakar langit, pepohonan yang masih tumbuh rimbun dan lebat, kendaraan yang berlalu lalang, atau para penghuninya yang sedang melakukan kebiasaan hidup mereka.

Ujung hidungnya makin merah dan cairan lendir yang mengalir itu terus saja jadi perhatiannya untuk terus di sedot agar tidak menggambarkan dirinya sebagai orang idiot.

Meski musim panas telah datang, hujan masih terus mencuri hadir. Sisa hujan kemarin malam masih begitu pekat. Aromanya candu, meski tak bisa ia hirup karena kini hidungnya seperti tersumbat.

"Changbin, Ibuk berangkat kerja. Kamu jangan kemana-mana! Makanan udah Ibuk siapin di meja, jangan lupa dimakan."

Mengeratkan selimut tebal yang membungkus tubuhnya, Changbin hanya bergumam sebagai balasan. Bibir pucatnya enggan terbuka barang sedetik, hatinya masih pundung.

"Ck, ngapain coba dirumah?? Gak bisa main game." Keluhnya sembari menyudahi kegiatan memandang sendu dunia di pagi hari miliknya.

Kakinya melangkah ke arah cermin, memandang refleksi dirinya sendiri di pantulan cermin tersebut. Wajah pucat dengan bibir kering dan pecah-pecah, hidung merah yang basah dan lengket, kantung mata hitam dengan mata merah, ia benar-benar sakit.

"Orang sehat kayak gini kok dibilang sakit. Ibuk aneh," gumamnya lagi sebelum kembali merubuhkan diri d atas kasur sebab kini kepalanya pening.  Menghela napas panjang berulang kali tanpa tahu harus melakukan apa selanjutnya.

Hingga netranya tak sengaja menemukan sebuah mantel berwarna hijau lumut tergantung di pintu lemari pakaiannya. Mantel milik paman asing yang ia temui di bus kemarin hari.

"Kira-kira paman itu ngapain ya sekarang?"

Ia tiba-tiba memikirkan pria yang ia panggil paman tersebut. Changbin bukannya tidak kenal siapa Suho, seorang direktur utama sebuah stasiun televisi swasta yang besar seperti itu siapa yang tidak tahu. Namun ia sama sekali tidak bisa membayangkan orang seperti Suho adalah seorang pemimpin.

Maksudnya, dengan kesedihan lemahnya itu? Ah, memikirkannya saja membuat Changbin frustasi. Ia tidak bisa mentolerir orang-orang seperti Suho. Yang selalu menyerah akan keadaan dan bukannya di perbaiki malah lari kenyataan.

Tidak seperti dirinya, yang akan terus bangkit entah berapa kali pun terjatuh.

"Ah, pasti lagi sembunyi di kamar sambil dengerin lagu sedih. Hufft!" Dan setelah itu Changbin berguling-guling di atas kasurnya berulang kali dan berhenti ketika ia terjatuh dari atas kasur.

}÷{

Kamar luas dengan sebuah ranjang berukuran besar di tengah ruangan itu terasa begitu sunyi dan gelap. Tirai masih tertutup rapat, lampu sengaja tak dinyalakan, hanya alunan musik sendu yang memenuhi ruang sepi tersebut.

Si pemilik ruangan tengah duduk beralaskan lantai dingin, bersandar di tepi ranjang dengan salah satu lutut di tekuk. Sebelah tangannya memegang sebuah pigura foto, dimana di dalam itu terdapat potret antara dirinya dan sang mantan istri di hari pernikahan. Lima tahun lalu.

Saat itu adalah hari paling mengharukan, dimana ketika itu dirinya menangis berkat bahagia. Bermandikan air mata sebab haru.

Kenangan itu di usir pergi agar tak menambah lara hati. Lantas kepalanya menoleh ke arah jendela yang tertutupi tirai. Entah sudah berapa lama kamar itu tak dirasuki bias cahaya. Terhitung sejak kepergian sang istri.

[23]Sagum ( 커튼) | K. Suho x S. Changbin [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang