0.2 (Samuel Axelio)

3 0 0
                                    

Tidak ada yg berarti dihidupku. Semua hanya semata2 sebagai hiburan. Bicara soal cinta, itu hal yg membosankan. Bahkan saat usiaku sudah dibilang cukup dewasa untuk sekedar pacaran aku sangat enggan.

Hidup dari kecil dengan ketercukupan, kasih sayang Ayah dan Ibu yg tak tanggung2 kurasa sudah cukup. Meski kadang aku iri saat teman2ku memamerkan pacarnya. Tapi, namanya percuma ya sama saja. Pernah beberapa kali mencoba PDKT dengan teman sekolah ataupun kuliah namun berakhir hambar. Tidak ada yg menarik, terkesan merepotkan dan membuatku pusing.

Ok perkenalan dulu. Nama gue Samuel Axelio, gue mahasiswa Sastra kebahasaan semester 5. Dan tepat bulan ini aku magang disebuah sekolah menengah yg lumayan jauh dari tempat tinggalku. Aku tak keberatan, disana juga nyaman dan lingkungannya cukup asri.

Meskipun aku orang berada, tapi aku suka hal2 yg berbaur tentang alam dan hal baru. Aku magang sekitar 6 bulan sebagai guru sastra bahasa indonesia. Sekolahnya cukup luas dan bagus, banyak ditanami pepohonan diarea samping sekolah bahkan ditepian lapangan. Udaranya bagus dan letaknya yg strategis. Meskipun baru sekali kesana tapi aku yakin suasananya nyaman. Dan lebih jelasnya aku hanya sendiri magang disana. Ya, cukup menantang memang, mengingat bagaimana siswa/i SMA kebanyakan seperti masa2ku dulu. Susah diatur dan suka melanggar peraturan, dan aku berharap aku dijauhkan dengan hal2 itu terlebih siswi2 centil yg akan mengganggu keberlangsungan masa adaptasiku sebagai pekerja, meskipun baru magang.

Sebenarnya aku bisa saja magang disekolah bahasa atau dalam arti keperusahaan penerbitan. Tapi rekomendasi lokasi satu ini berhasil mencuri perhatianku. Dan semoga saja aku dapat beradaptasi dan bekerja dengan baik.

Awalnya memang Ayahku sempat ragu berbanding balik dengan Ibuku yg menyerahkan semuanya sesuai apa yg aku mau, yg terpenting itu hal yg baik2.

Mengingat Ayahku seorang CEO yg cukup terpandang dan mungkin akan tidak nyaman saat putranya magang hanya diSMA, tapi aku suka hal2 yg berbaur baru itu.

Sekilas tentang orang tuaku. Nama ayahku, Taufik Abraham. CEO dari sebuah perusahaan turun temurun dari kakekku. Beliau orang yg mudah akrab dan ramah, tidak memandang orang lain dengan sudut matanya. Jujur saja, aku salut terhadap Ayah. Maka dari itu sifat itu menurun padaku, aku menganggap semua orang sama, baik kaya miskin atau menengah itu sama saja. Yg perlu kita nilai itu bagaimana orangnya. Baikkah dia? Santunkah dia? Dan yg penting itu mereka tidaklah sombong dan ingat pada pencipta.

Ibuku, Ira Wati. Beliau bukan pengusaha atau apa, Ibu suka dirumah dan merawat kebun sayurnya dibelakang rumah. Terkesan aneh memang, istri CEO adalah pekebun rumahan. Tapi tak masalah, Ibu suka sayur hasil petikan sendiri yg beliau sendiri bilang itu lebih sehat dan perawatannya jelas.

Dan satu orang lagi dikeluargaku. Namanya Yefa Salsabila, dia kakakku sayang sekali memang dia sudab menikah setahun yg lalu dan sekarang ikut dengan suaminya diluar kota. Dia supel dan orangnya cerewet, mirip Ibu memang, mulai dari semua sifatnya. Tapi jangan fikir mereka orang yg bagaimana. Sama halnya dengan Ayah Ibu dulu berasal dari pelosok desa. Ayah dan ibu bertemu saat masa kuliah Ibu, dan Ayah yg semasa itu adalah Seniornya. Ceritanya aku tidak tahu jelas, karena aku bukan orang yg kepo dengan cerita seperti ituan jadi ya sudah. Yg jelas sekarang mereka sudah menikah dan punya 2 anak perempuan dan laki2, tepatnya kakak dan aku.

Lumayan panjang perkenalannya yg memusingkan, aku ingi  berbagi sedikit aktivitasku saat ini.

Aku menyetir mobilku, tujuanku saat ini adalah menuju rumah yg sudah kusewa untuk ditempati 6 bulan kedepan semasa magang. Letaknya tak jauh dari sekolah, sekitar 2-3 kiloan kalau tidak salah. Rumah minimalis yg sederhana. Hanya ada 2 kamar, dapur ruang makan dan ruang tamu yg menjadi satu dengan ruang bersantai. Letaknya juga pas, dekat dengan persawahan dan dikelilingi pepohonan yg rindang dan sejuk. Sangat nyaman.

Masih menyetir, Ibuku tiba2 menelfon. Segera kuhubungkan keheat blotooth.

"Assalamualaikum, bu"

"Waalaikumsalam. Sudah sampai mana Sam?"

"Sudah dekat bu. Ini sudah masuk komplek"

"Hmm. Hati2 disana, jaga kesehatan. Hubungi Ayah atau Ibu kalau ada sesuatu. Ok"

"Iya bu pasti"

"Ingat, siapa tahu kecantol cewek disana. Umur kamu sudah pas buat cari pendamping Sam"

"Ibu ini. Aku baru juga 21 tahun. Lah Ayah dulu ketemu ibu sudah 25 tahunankan?"

"Ya itu nikahnya. Ayahmu waktu kita pacaran usianya 20 tahun ibu juga 18 tahun. Jadi jangan jones2 mulu Sam"

"Samuel nggak ngenes bu. Ibu aja berlebihan. Jodoh belakangan bu. Penting masa depannya gimana. Kalau udah ada calon tapi buat ngelamar aja masih minta Ayah Ibu. Lah mau kasih nafkah apa?"

"Ya sudah. Jadi putra Ibu pengen sukses dulu. Tapi nanti nggak laku dikira jaka tua kalo nunggu sukses"

"Terserah Ibu lah mau ngatain aku apa"

"Lah Ibu nggak ngatain. Bener kan kalo nunggu kamu sukses usia kamu kira2 udah berapa?. Paling nggak punya pacar lah, Sam"

Ibuku masih saja nyerocos sampai aku tiba dirumah sewaku. Tak tahu apa? Aku tuh kesini mau belajar bekerja, belajar mandiri. Lah Ibu nasehatinya seolah aku ini cari jodoh.

"Iya nanti" sahutku pasrah sambil mengeluarkan koperku dari bagasi lalu membawanya kedalam rumah.

"Nah gitu. Kan kelihatan kalo masih semangat hidup. Biar nggak monoton2 aja. Makanya cepet2 cari pacar"

Tuh kan akhir2nya puter balik keawal.

"Hmm. Ibu udah makan?" Tanyaku dengan tangan membuka kunci rumah dan sebelah menarik koperku.

"Udah. Sepi rumah Sam. Kaya biasa"

Perasaan aku nggak tanya?

"Ibu baik2 ya nggak ada Sam. Sam mau istirahat dulu, bu. Assalamualaiku"

"Waalaikumsalam. Jangan lupa makan"

"Iya"

Panggilan tertutup tepat saat aku menutup pintu dan beralih kekamar. Rasanya sungguh lelah diperjalanan, aku segera merebahkan tubuhku diatas kasur dan tak lama mataku terasa memberat.

Our StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang