1.0.1

2 0 0
                                    

Minggu pagi. Seperti biasa Lira akan membantu2 ibunya diwarung makan. Mulai dari prepare bahan2 lalu membersihkan area tempat pelanggan. Sebenarnya ibunya punya rewang, tapi dia senang2 aja membantu sang ibu. Begitu juga dengan Ersya. Meski kadang lebih sering jalan dengan pacarnya, tapi juga suka membanyu ibunya diwarung.

Seperti hari ini, Ersya sedang menglap meja dan kursi diwarung yg lumayan lebar dan bersih itu. Lira asik dengan ijuknya membersihkan tiap kolong meja dan lantai, dilanjut menyapu halaman yg penuh daun kering, tak salah warung disana disekitarnya banyak pohon yg tumbuh jadi Lira sudah biasa2 saja. Sedangkan Ersya dia mengpel lantai yg baru saja disapu adiknya sesekali bersenandung ria, meski liriknya sering bolak balik atau diedit sendiri.

Lira melirik kakaknya yg sudah mengpel bagian depan sedangkan dia masih menggiring daun2 kering dengan lidinya.
"Bisa stop nggak nyanyinya? Bikin budek lama2" gerutunya dengan lantang.

Ersya melirik tidak suka adiknya, "bilang aja lo iri. Secara suara gue kan bagus" ucapnya bangga dengan mengibaskan rambutnya.

"Iya bagus kalo dengernya dari hongkong" cibir Lira.

Ersya mencebikkan bibir tak berniat menanggapi mulut pedas adiknya.

Mereka kembali sibuk dengan kegiatannya masing2, Lira yg masih berjemur sambil menyapu dan Ersya yg kembali menyanyi dengan pel2an ditangannya.

"Gue kadang heran. Bang Edo kok bisa suka cewek kaya elo ya?" Celetuk Lira tiba2.

"Apa maksud lo?" Ersya melototi sang adik.

Lira mengedik bahu. "Ya gitu. Dari luar aja keliatan feminin nggak ketulungan. Dalemnya pecicilan. Hadeh hadeh" dia menggeleng2 tanpa menoleh kakaknya, rasanya lebih menarik daun2 kering itu daripada menatap kakaknya yg sudah melotot dengan berkacak pinggang.

"Dia kan cinta sama gue. Mau gue kaya apa kek, kalo cinta ya terserah" ucapnya sarkatis. "Makanya jangan ngejomblo. Udah 17 tahun hidup juga, ditembak cowok sana sini alesannya ada aja" cibir Ersya.

"Suka-suka, gue juga nggak pengen. Masih ada waktu juga kan? Toh jodoh ditangan tuhan" sahut Lira santai dengan sibuk mengumpulkan sampah daun.

"Gue cariin deh" tawar Ersya.

"Nggak perlu. Temen2 lo kan cowok aneh2 semua" sewot Lira sambil beranjak.

"Nih pegang. Gue mau keliling komplek. Lo disini aja, nanti pacarnya Edo capek terus gue dimarahin" ujarnya menyerahkan sapu lidi pada Ersya.

Ersya tisipu malu2. Sedangkan Lira memutar bola mata malas. "Ganjen, pake sok2an malu2. Gue pergi dulu. Bilangin sama Ibu, gue berangkat. Bye" ucapnya lalu meninggalkan Ersya yg sudah uring2an.

Dia melangkah menyusuri jalanan komplek, menikmati angin pagi berpadu sang surya yg menyalurkan sinar hangatnya pagi.

Dia larut dalam kediamannya sendiri, menatap sekeliling perumahan yg tampak asri bersih terawat. Dia merasa beruntung hidup dilingkungan ini. Jauh dari polusi, hebat.

Dia terus melangkah, menapaki pinggiran aspal sampai diujung gang. Kebetulan dia melihat pedagang buah disana. Pasti Ersya suka buah itu. Pikirnya lalu berniat membelinya.

***

Dilain sisi, Samuel yg sudah bangun sejak subuh tadi sudah kembali dari jogging. Dia istirahat diteras samping rumahnya, menikmati sentuhan cahaya surya pagi dengan mata terpejam namun tidak tidur. Suara burung2 melengkapi indahnya pagi membuatnya betah disana.

Dia meringis saat perutnya dengan tidak sopan meronta2. Akhirnya dia beranjak masuk, membasuh tubuhnya memakai pakaian santai lalu keluar mencari makan. Cukup jalan kaki saja, kebetulan kemarin dia melihat warung yg tak jauh dari rumahnya.

Our StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang