2. ~Sahabat

233 42 8
                                    

Masih sepagi ini Namaku menderu di speaker. Ustadzah memanggilku. Langkahku gontai, perasaan kalut menggandrungi jiwa, aku menghela nafas, menatap seantero pesantren.

dinding pengurus semakin dekat. Nafasku masih tak beraturan di tambah jantung yang berdegup kencang. Mulutku merinding untuk sekedar mengucapkan salam. Aku masih mematung, berdiri tepat di depan bingkai pintu pengurus, tak berani mengetuk apalagi menengok ke dalam. Ku ambil nafas panjang,"assalamualaikum."huft lega rasanya akhirnya ucapan itu terlontar.

Cklek pintu pengurus sedikit terbuka, ustadzah berdiri di tengahnya, menatapku. ku balas dengan tundukan. Ia menyibak kitab, mengeluarkan secarik kertas, menampilkannya padaku.
"Benarkah ini dengan ukhti Salsabila Velica ?"

Aku mengangguk, membalas pertanyaannya,"na'am ustadzah."

"Saya punya tugas baru untuk kamu."aku menggigit bibir, menunggu ucapan setelahnya."mulai nanti, lebih tepatnya petang, kamu saya tugaskan mengantar santriwati yang sakit."

Aku menelan ludah lalu mengangguk menyanggupinya.
Meski, tak tau apakah aku mampu.

Otakku membeku di tempat. Membayangkan titah ustadzah membuatku bergidik. berarti, selain menjadi Abdi dhalem, aku ditobatkan jadi seksi kesehatan donk. Aku mengambil nafas, dalam. tidak di ragukan lagi kalau bukan ke rumah sakit, yang jaraknya harus di tempuh dgn mengendarai becak. Sampai di pikiran tersebut, lengkungan sabit tercetak di bibirku. berarti bisa cuci mata donk. pikiran kalut pudar begitu saja.

Aku menghela nafas, menyimpulkan bahwa senja nanti, aku akan di sibukkan dengan pekerjaan baru.

Langkahku mendayu-dayu. Ku liat jam yang melingkar di pergelangan tangan. Jantungku cukup berdegup. bel sekolah beberapa menit berbunyi.

Aku berlari menuju kamar mencari gayung kesegala arah.

"Mbak Sal santuy donk."

Aku merasa bersalah, langkahku memang membuat seisi kamar gempa bumi.

ku tetap berlari kencang menuju kamar mandi berteman gayung yang telah terisi perlengkapan mandi. Aku berhenti, sekedar menghirup udara. nafasku tak beraturan. Ku sapu pandangan ke kamar mandi. Aku cukup kalut. Santriwati berjejal, antrian cukup panjang.

"MBK adhur... ( antri ),"teriakku.
beberapa pasang mata Santri yang sedang mengantri kamar mandi memandangku. Mrk membisu, mengabarkan bahwa tidak ada ada yang terakhir. Mungkin, biasanya santri yang terakhir meninggal antriannya.

Aku menghela nafas, mendesah. Tetap saja tak ada yang menyahuti ucapanku.

Ku melirik, mencari beberapa bingkai pintu kamar mandi yang terbuka, mencari kamar mandi yang tidak ada gayungnya.

Satu kamar mandi terbuka, karena tak ada gayung di dalamnya. Kesempatan emas.
Aku memasukinya, ku lirik santriwati yang tengah mengantri. beberapa pasang mata melihat sinis ke arahku. Aku terkekeh, puas.

Alhamdulillah. Bel berbunyi tepat dengan diriku yang telah tertata rapi. Ku patut-patutkan diriku di cermin. Setelah di lihat Krudungku rapi juga.

"Salsa cepetan..."teriak Leli

Aku tersadar, berlari kearahnya.
Leli mengambil tanganku cepat, lalu berlari beriringan, sembari mengabarkan padanya ceritaku di pengurus tadi.

***


Pagi ini kelas nyaman di tambah ketua kelas yang sabar.
Leli sibuk menyibak kitab yang ada di hadapannya tiba-tiba manik matanya menyorot tajam kearahku. "aku heran sal, kenapa antum yg jadi seksi kesehatan? gak ukhti yg lain gitu, maksud ana kan pihak pengurus udah ngerti klo ente jadi abdi dhalem."

Di Balik SkenarioTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang