"Ehmm, permisi." Seketika Shilla menjatuhkan sendok yang akan ia gunakan untuk menyuapkan kuah ramyeon ke lantai hingga bunyi sendok itu berdenting dan berisik. Shilla gelagapan, mengambil sendoknya, meletakkan ke dalam piring, dan berdiri menghampiri Cakka.
"Mas.." Shilla menyentuh lengan Cakka.
Cakka mengatur nafasnya. Ia yakin, ia adalah orang yang sangat pandai mengatur emosinya agar tak meledak. Cakka tidak ingin buru-buru negative thinking. Dengan tidak menanggapi Shilla, ia berjalan ke arah rekan kerja Shilla yang ia ketahui merupakan leader sekaligus pemilik bangunan klinik tempat Shilla praktek ini.
"Mohon maaf, Pak. Ini apa masih kerja atau bagaimana ya? Sebelumnya istri saya belum pernah masih di klinik sampai jam segini." Ucap Cakka sopan namun dingin.
"Oh, engga Mas Cakka. Kebetulan hari ini kita banyak pasien, belum sempat makan, jadi saya pikir daripada Mba Shilla nanti pingsan di jalan karena kelaparan belum makan lebih baik saya ajak makan dulu. Apalagi pulangnya nyetir sendiri. Bukan begitu Mba Shilla?" tanya rekan kerja Shilla dengan wajah yang tak menunjukkan rasa bersalah sedikitpun.
Cakka melihat ekspresi Shilla yang mengangguk membenarkan sambil menatapnya takut.
"Setahu saya, ada 5 orang yang bekerja di klinik ini. 1 orang laki-laki dan 4 orang perempuan termasuk istri saya. Apa hanya istri saya yang tampak kelaparan?" tanya Cakka.
Rekan kerja Shilla berdiri dari duduknya, memasukkan kedua tangannya ke saku celananya dan berjalan menghampiri Cakka.
"Santai Mas Cakka. Ga usah tegang gitu. Ini baru jam 11, dan kami hanya makan, ga ngelakuin hal lain yang lebih intens. Di tempat saya di Jakarta sana ini hal yang biasa. Bahkan sampai menginap di klinik ini pun juga tidak apa-apa. Untuk pekerjaankan?" Ucap orang itu dengan mempertahankan wajah santainya.
Cakka tahu persis apa yang dimaksud oleh rekan kerja Shilla tersebut. Bagaimanapun pintarnya, Shilla tetap memiliki sisi polos yang kapan saja bisa dimanfaatkan dengan salah oleh orang-orang licik termasuk model-model pria didepannya sekarang ini.
Cakka bergegas mengambil tas Shilla dan beberapa barang yang ia ketahui milik Shilla. "Mohon maaf, Pak. Saya rasa ini hari terakhir istri saya menyumbangkan tenaga dan pikirannya untuk klinik ini. Terima kasih telah bekerjasama, dan mohon maaf jika istri saya pernah berbuat salah. Jika ada sesuatu yang membuat istri saya harus ganti rugi, silahkan sampaikan secara langsung kepada saya." Ucap Cakka tegas.
Ia kemudian berlalu sambil berbisik tegas pada Shilla untuk menyuruhnya pulang. Shilla yang masih takut dan gemetar karena tak pernah sekalipun selama kenal dengan Cakka melihat air muka pria itu merah padam menahan amarah seperti itu hanya menurut dan mengikuti Cakka keluar dari ruangan tanpa ingat untuk berpamitan dulu dengan rekan kerjanya.
*****
Cakka melemparkan semua peralatan Shilla ke atas sofa ruang tengah. Ia mendudukkan dirinya disana sambil berusaha meredam amarahnya.
"Mas, kenapa kamu ambil keputusan sepihak kayak gitu?" Shilla memberanikan diri untuk berbicara dengan Cakka. Setelah memarkirkan mobilnya di belakang mobil Cakka, Shilla bergegas masuk ke dalam rumah. Shilla pulang tak semobil dengan Cakka. Shilla mensyukuri itu, karena jika mereka satu mobil mungkin mereka sudah cekcok di dalam mobil.
"Jelasin, Shill." Perintah Cakka.
"Kita selesai kerja lalu makan sebelum pulang. Hanya itu, Mas." Jelas Shilla berusaha tenang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Karena Kisahmu Tertulis Denganku (COMPLETE)
FanfictionMengisahkan dua anak manusia yang pernah 'dekat' saat usia remaja, lalu berpisah, hingga kemudian bertemu kembali saat keduanya telah dewasa. Banyak perubahan yang mereka temukan dalam diri masing-masing. Tekad ingin bersatu kembali dari salah satu...