✧ kalau kata semesta

77 18 37
                                    

   ini masih sore, sore menjelang malam tepatnya. swastamita menempatkan diri di mana ia seharusnya berada. tapi jea sudah nyaman dengan kasurnya, seperti ada perekat diantara mereka. tidak bisa dilepaskan, permanen katanya.

ngomong-ngomong, jea diperkenankan bicara tidak nih? kalau kata semesta, silahkan. berarti boleh, ya.

rasanya ingin sekali mengulang kisah cintanya sekarang. yang dulu serasa manis sekarang pudar. hidup memang sama seperti permen karet, kah? hanya dikunyah sebentar lalu sudah tak berasa dan berakhir dibuang.

kalau kata semesta, beda. kamu itu berharga, bukan untuk dibuang. namun untuk dicintai, sayang.

kadang jea berpikir, andaikata dia tidak bertemu jeno seumur hidupnya, mungkinkah hatinya ini akan tetap baik-baik saja?

kalau kata semesta, kamu terlahir untuk merasakan sakit, dan juga sembuh. kamu berjalan diantara keraguan, untuk tahu yakin.

kamu istimewa karena bisa merasakan keduanya.

ini buruk. jea telah membenci karena terlanjur mencintai.

ponsel jea berdering nyaring, membuat dedaunan kering yang nampak di jendela runtuh, mencari rumah baru.

jea melirik malas ke ponselnya, lalu segera beranjak duduk ketika melihat nama yang tertera di ponselnya.

candra incoming call...

hawa itu segera mengangkatnya— malas sih, tapi mau bagaimana lagi, rindu.

"halo—"

"selamat malam, cantik."

dengusan terdengar. "salam dulu!"

"haha, assalamualaikum."

"waalaikumsalam, tapi ini masih sore."

tidak ada jawaban sampai jea tiba-tiba melanjutkan sebelum jeno mulai bicara. "eh, tapi aku mau cepat malam."

"hah? biar apa?"

"biar bisa lihat kembaran kamu, candra."

"katanya nggak mau lihat aku?"

"siapa yang mau lihat kamu? kan aku mau ketemu candra, bukan jeno candra asena."

"hafal namaku, ya?"

"selalu. kan kubawa dalam doa terus,"

jeno tertawa merdu di sana, terdengar syahdu dengan semerbak rindu. "aku senyum-senyum tau gak?"

jea tersenyum simpul, padahal tahu jeno tidak akan bisa melihatnya. senandung nyanyian dari labium jea menyadarkan jeno untuk tujuan dia menelepon.

"em, jea.."

"hmm?"

"..lusa



































aku berangkat."

malam itu dengan pekatnya nabastala yang mulai menggelap, sama seperti hati seorang belia yang tersenyum tipis, namun dalam-dalam menghela napas seraya meratapi nasibnya yang miris.

dengan redupnya cahaya hati yang hampir saja mati, jea bersumpah tidak mau lagi bertemu dengan jeno atau kembarannya lagi.

kalau kata semesta, gak apa apa. tidak semua harus bersama.

 tidak semua harus bersama

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

kok aku pengin nonton jsmr

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

kok aku pengin nonton jsmr...

kerlip delusi.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang