kelelangan menyeruak entah sudah berapa lama. yang terdengar hanya suara kerik dari beberapa jangkrik di taman rumah jea. kalau ditanya, kenapa tidak di dalam saja?
jawabannya; mau lihat saat bulan ketemu sama candra, jea ingin bulan tahu, kalau candra itu lebih indah dari bulan. ya, dan semua orang tau itu sekarang.
cuaca malam ini cukup bagus, tidak hujan, dan tidak terlalu panas juga. cakrawala dipenuhi bintang, masih sama. dilengkapi bulan yang menjaga tuan dan puan yang berdua namun berdiam.
ini sudah selang hampir setengah jam saat jeno belum mengatakan apa-apa. jea menyerah. bukan, dia tidak akan bertanya pada jeno. yang ada jea benar-benar marah sekarang.
"jea,"
sunyi, tidak ada jawaban.
"jea, aku mau cerita."
tetap hening, yang terdengar hanya deru angin yang menerpa dan menusuk kulit mereka berdua.
"kemala."
"jangan panggil kemala!" protesnya, jeno tertawa kecil, yang penting jea sudah menyahut.
"terus apa? say—"
"duh! kamu tuh mau ngomong ya ngomong."
jeno diam. jea diam. semesta dan segala isinya diam. daun-dedaunan pun enggan menari kesana-kemari, melenggak-lenggok mengikuti arah angin lagi.
"—nggak nyangka ya, kita udah mau lulus aja." jeno menerawang cakrawala, maniknya menatap bulan sedu agaknya dia akan dilanda dengan beratnya rindu.
jea tergerak untuk mendengar kalimat jeno selanjutnya, namun tak kunjung diucapkan. sedikit bingung dengan topik awal jeno, tapi gamang, apakah dia harus merespon atau tidak? "iya. harus belajar lebih giat, nih." akhirnya jea menjawab.
di antara mereka itu sepi. hanya ada bayu, aku dan kamu. itu saja yang bisa dianggap karena tak semuanya di alam ini bisa mengerti.
"bukan ... itu,"
jea mecureng, baru saja mau membentak jeno karena cara bicaranya seperti bukan jeno. gugup dan kebingungan, akhirnya jea memutuskan untuk merendahkan nada bicaranya. "kamu kenapa?"
"aku—" sebelum menyelesaikan perkataannya, jeno masih sempat-sempatnya mencomot terang bulan di sebelahnya.
"bukan aku, maksud aku itu kamu— kamu rencana kuliah di mana?"
deg.
mereka sempat membicarakan ini sebelumnya, tapi ini layaknya bahasan kuno penaka saat awal tahun mereka baru menjalin hubungan.
jea menyadari sebuah cocoklogi antara jeno yang dulu dan yang sekarang saat membahas hal yang sama.
waktu membahas tentang universitas dulu, jeno juga kelihatan tidak nyaman dengan topiknya. jea berusaha mengembalikan detak jantungnya seperti biasa, tapi tidak bisa. dia takut.
"e-em, aku mungkin antara di jakarta atau jogja aja, kamu juga, kan?"
pertanyaan ini terulang lagi, bak memoar yang memaksa kembali memasuki masa kini. "jea ...."
"aku nggak tau," jeno merunduk frustasi.
tangan jea terulur untuk mengelus lembut surai jeno, "kamu kenapa? jeno jangan buat aku bingung."
kedua tangan jeno terangkat paksa untuk menutupi wajahnya, dia terlihat sangat lemah dan dia tidak suka.
entah sekarang mau dunia apa, semesta membenci jeno dan jeno paham. entah sekarang mereka mau menangis atau menertawakan, tak apa, jeno paham. entah sekarang berapa ribu bintang yang mengadakan pesta untuk kebodohan yang jeno lakukan, tak apa, jeno paham.
tapi bukan begini caranya, kalau memang dia ada untuk jea hanya untuk sementara, lebih baik tidak usah selamanya. kalau memang semesta ini fana, lebih baik jeno tidak ada. untuk pasangan yang saling jatuh terlalu dalam, terperangkap dalam cermin kaca yang menjebak. sama-sama terjebak.
sorot mata yang terlihat sama, tak ada sedu tak ada bahagia. kita tahu jarak kita, jauh nun tak terhingga. tertangkap mata juga tidak. setidaknya delusiku untukmu pernah ada walau memang hanya sementara, pergi biarlah pergi yang hanya mengganggu diri.
"jea, kalau aku ke melbourne, kamu sedih nggak?"
kutuk saja jeno karena tidak pernah mengungkap mimpi.
halooo, gimana kabarnya, yang puasa lancar nggak?
KAMU SEDANG MEMBACA
kerlip delusi.
Fiksi Penggemar✨ sekerlip delusi yang semakin samar membuatnya semakin nyata dan hidup. // ft. lee jeno // COMPLETED © skiesilents, 2020