Bab - 7

471 35 0
                                    


___

Saat pulang sekolah, Gina menatap anak kecil yang sedang menangis di jalanan. Dia menghampiri anak kecil itu lalu berjongkok di hadapannya.

“Kamu kenapa, Dek?” tanya Gina dengan senyuman yang terpancar, tangannya mengusap kepala anak kecil itu lembut.

Anak kecil yang menangis itu langsung mendongkak menatap Gina bingung. Tangannya mengusap air matanya. “Kakak ... siapa?” tanyanya gugup.

“Nama kakak, Gina. Kalo Adek siapa?” Gina berucap masih dengan tersenyum.

“Aku Nisa.”

Gina mengusap air mata Nisa yang keluar lagi. “Nisa kenapa bisa di sini sendiri?”

“Nisa mau pulang. Nisa takut. Hiks...” Nisa menangis kencang membuat Gina langsung memeluknya.

“Ada Kakak, sayang. Nisa rumahnya di mana?” Gina mengusap punggung Nisa dalam pelukannya. Dia melihat sekitarnya berharap ada seseorang yang tengah mencari anak kecil.

“Enggak tahu,” balas Nisa dengan kepala yang menggeleng, “tapi Abang Nisa belajar di sana.” Nisa menunjuk arah belakang Gina dengan tangannya. Gina pun langsung melihat ke arah—sekolah yang ditunjuk oleh Nisa.

“Abang Nisa sekolah di sana?” Nisa mengangguk. “Nama Abang Nisa siapa?”

“Abang Elvin,” ucap Nisa.

Kak Elvin? Batin Gina.

“Ya udah. Kita cari Abang kamu, mau?” tanya Gina membuat Nisa mengangguk antusias. Nisa mengusap air matanya, lalu tersenyum pada Gina. Gina juga tersenyum, tangannya menggenggam tangan Nisa lembut.

Mereka berdua menuju ke sekolah Gina dengan tangan yang saling menggenggam. Tepat saat di lapangan sekolah, terlihat Elvin yang sedang bercanda satu sama lain bersama temannya.

“ABANG ELVIN!” teriak Nisa saat melihat Kakaknya.

Elvin langsung mengalihkan pandangannya pada suara yang sangat di kenalinya, lalu menghampiri Adiknya saat melihat keberadaannya dengan diikuti Fahmi dan Riski.

“Dek, kenapa bisa ada di sini?” tanya Elvin khawatir dan bingung bersamaan saat melihat adiknya dengan Gina.

Nisa langsung melepaskan tangannya dari Gina, lalu memeluk Elvin erat.

“Nisa mau pulang,” Nisa memeluknya lebih kencang, “tadi Nisa mau main ke sekolah Abang, tapi takut menyeberang jalannya. Terus tadi ada kakak ini.” Nisa menunjuk Gina, Gina hanya tersenyum kepada Nisa, tidak menatap Elvin yang sedang menatapnya.

“Adek ngapain mau main ke sini? Kita sekarang pulang, ya?” Nisa hanya mengangguk.

“Mau gue anter pulang?” tanya Elvin pada Gina.

“Enggak usah, Kak,” balas Gina menggeleng, “aku duluan Kak, Nisa.”

“Sama gue aja, gimana?” tawar Riski menaik turunkan alisnya yang langsung mendapatkan tendangan di kakinya dari Elvin.

“Santai, bro. Canda elah,” kata Riski sedikit cengengesan, tangannya sibuk memegang kakinya yang kesakitan.

“Lagian lo ngapain? Udah tahu si Elvin gitu,” timpal Fahmi dengan kepala yang menggeleng.

Gina yang tadinya menunduk langsung menatap ke depan. “Aku duluan Kak, Nisa, Assalamualaikum.”

“Enggak. Lo pulang sama gue!” tegas Elvin.

Gina menggeleng menolak perkataan Kakak kelasnya. “Aku bisa sendiri kok, Kak.”

Elvin langsung membisikkan sesuatu pada Nisa—adiknya, lalu Nisa mengangguk tersenyum dan langsung menatap Gina.

“Kak Gina pulang bareng sama Nisa sama Abang Elvin, ya?” Nisa dengan sengaja merengek, wajahnya terlihat sedih saat menatap Gina.

Gina tahu ini pasti ulahnya Elvin. Dia melihat Elvin yang sedang tersenyum sambil mengedipkan satu matanya, lalu menatap Nisa yang seperti sedang merajuk membuatnya tidak tega.

Dia ingin menolak, namun tidak enak pada Nisa. Alhasil Gina tersenyum pada Nisa dan mengangguk pasrah.

***

“Makasih udah nganterin. Mau mampir dulu?” tanya Gina. Dia sedang berdiri di depan pintu rumahnya.

“Enggak usah, kita langsung pulang aja.”

“Tapi Bang, Nisa pengin mai—“ ucapan Nisa terhenti saat Elvin melotot padanya. Dia kemudian menunduk cemberut.

“Ntar gue boleh main ke sini?” tanya Elvin pelan sembari tersenyum pada Gina.

“Hah, gimana?” Gina bertanya, ucapan Elvin terdengar samar di telinganya.

“Calon imam lo entar mau main ke sini.” Ulang Elvin pada Gina. “Gue pulang dulu.” Pamitnya tersenyum jahil dengan tangan yang terulur ke depan.

Gina menatap tangan Elvin lalu menatap wajahnya dengan bingung. “Gak mau salim dulu sama calon lo?” tanya Elvin.

Gina menggeleng pelan. Tidak mungkin dia bersentuhan dengan yang bukan mahramnya. Elvin yang melihat itu hanya mengangguk mengerti. Bener, kan? Pilihan gue emang beda. Batinnya.

“Dadah Kak Gina.” Nisa melambaikan tangannya yang di balas anggukan oleh Gina dengan tersenyum pada Nisa.

Elvin langsung membalikkan badannya, memasuki mobil dengan diikuti oleh adiknya lalu melenggang pergi meninggalkan pekarangan rumah Gina.

Di dalam perjalanan ponselnya berbunyi. Segera Elvin melihat notifikasi yang baru saja muncul dengan satu tangannya sedangkan tangan yang lainnya sibuk menyetir.

Fahmi : Vin, anak sekolah lain nyariin lo.

***

Malam tiba. Di rumah Gina, Sinta dan Ali sedang menunggu anaknya bergabung. Lama menunggu akhirnya Sinta mendatangi kamar anaknya dan mengetuk pintu kamarnya.

“Gina, kamu lagi ngapain, sayang?” Sinta memanggil anaknya sembari tangannya masih mengetuk pintu kamar Gina.

“Ini Ummi baru selesai Shalat.” Gina buru-buru melipatkan mukenanya dan segera membuka pintu.

“Pantesan, dari tadi Ummi panggilin. Sekarang ke bawah makan malam.” Mendengar itu Gina hanya mengangguk lalu mengikuti Sinta dari belakang.

Selesai makan malam, Gina di buat bingung oleh Ali yang tidak biasanya menatapnya seperti itu. “Abi, ada yang mau di bicarain?”

Ali berdeham lalu menatap putrinya lagi. “Ada hal yang harus disampaikan sama kamu, sayang.”

“Hal apa, Abi?” Gina bingung, baru pertama kalinya Abi nya seperti ini.

Sinta hanya mengusap tangan Ali, tersenyum lalu mengangguk. “Kalo Abi jodohin kamu. Gimana sayang, enggak apa-apa?"

Mata Gina langsung membulat lebar. Perkataan Ali mampu membuat Gina melotot tidak percaya. Dirinya langsung bingung, tidak tahu harus berbuat apa. Gina menelan salivanya susah payah lalu menunduk untuk menjernihkan pikirannya.

“Gimana, sayang? Kamu gak keberatan?” Sinta bertanya dengan nada lembutnya.

“Ta-tapi Gin—“

“Kamu pikirin dulu aja. Abi sama Ummi gak maksa, kok." Ali memotong ucapan anaknya lalu mengelus kepala Gina yang tidak terhalang oleh apa pun.

“Gina masih enam belas tahun, Abi. Masih sekolah juga.” Gina masih menunduk tidak berani menatap kedua orang tuanya.

“Pernikahannya masih lama, sayang. Kamu kan kuliah juga, ini masih perjodohan doang. Kalo sudah lulus nanti kuliah dan nanti kamu menerima perjodohan ini, itu tergantung kamu mau nikahnya kapan tapi jangan lama-lama.” Sinta tersenyum pada putrinya. “Ummi sama Abi sudah kenal baik sama calon kamu, dia anak temen Abi.”

“Si-siapa emang nya Ummi?”

*****

Bakal ada perubahan jadwal update, ya!

Jangan lupa Follow ig : @jilay.si

Dan ... jangan lupa Follow akun aku! Vote and komen nyaa ditunggu, yak!!
Babay and see you next part >Δ<

Garis TAKDIR [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang