Bab - 14

307 31 0
                                    

Selamat membaca.

***

Di depan apotek terdapat seorang cowok yang tak lain Elvin sedang duduk di sana. Wajah dan tangannya terdapat luka-luka habis perkelahiannya dengan sekolah lain. Dia sedang menunggu Gina yang entah sedang apa di dalam apotek itu.

Terkadang tangannya ditiup dan sesekali meringis perih. Dia tidak peduli dengan lirikan orang lain yang menatapnya iba dan ada yang terang-terangan mengatainya berandalan. Dia hanya fokus pada apa yang sedang dilakukannya dan menunggu Gina.

Elvin mendongkak begitu Gina duduk di depannya. “Habis ngapain di dalem?”

“Nih.” Tangannya menyodorkan Kresek putih yang berisikan obat.

“Pakein.”

“Tapi Kak—“

“Katanya mau nolongin,” kata Elvin dengan sesekali sengaja mendesis keras.

Gina menghela napas pelan. Dia membuka obat dan kapas yang dibelinya lalu mengusap luka Elvin yang ada di tangannya dengan sedikit gugup.

“Aw...” Elvin menahan tawanya saat melihat raut wajah Gina yang terlihat bersalah.

“Eh. Maaf, Kak. Masih perih?” Gina meniup tangan Elvin saat pria itu masih saja mendesis.

Beberapa menit kemudian Gina membuang kapas itu ke tong sampah yang ada di sekitar apotek itu. Gina hanya mengobati tangannya. Dia tidak berani mengobati area mulut dan dahinya. Dengan segala paksaan Elvin yang ingin diobati oleh Gina, namun perempuan itu tidak mau dengan memberi alasan yang cukup kuat.

Gina tidak bermaksud untuk tidak ingin menolong. Dia hanya tidak ingin terjadi yang tidak-tidak. Semua yang berkaitan dengan Elvin selalu saja di perbincangkan oleh orang lain, itu salah satunya. Dia juga ingin menjaga dirinya, tidak ingin seperti sekarang yang berdekatan dengan lawan jenis meski terhalang oleh meja. Dia hanya ingin dekat dengan satu lelaki yang sudah menjadi suaminya kelak dan itu adalah prinsipnya dari dulu.

Elvin di sana masih sibuk pura-pura mendesis. Dia menghela napas saat Gina tetap keukeuh tidak ingin mengobati di dahi dan sisi mulutnya. Dia hanya mengangguk mencoba untuk mengerti. Sekarang yang pria itu pikirkan hanyalah membuat Gina untuk menatapnya.

Gina yang melihat Elvin berdesis hanya merasa bersalah. “Maaf, Kak...” Gina menunduk. “Masih sakit?”

Elvin hanya mengangkat kedua bahunya sembari menahan tawanya. Gina terlihat menggemaskan saat perempuan itu merasa bersalah.

“Kak, aku boleh nanya?”

“Apa?”

“Kak Elvin kenapa bisa berantem kaya tadi?” Gina bertanya dengan suara pelan takut ucapannya salah. Dari tadi dia hanya memendam rasa penasarannya. Dia cukup kepo saat banyak siswa di sekolahnya termasuk Elvin dan siswa sekolah lain berkelahi—seperti tawuran. Banyak yang membawa balok serta membawa senjata tajam yang membuatnya masih merasakan takut detik ini.

“Urusan cowok. Jangan di pikirin. Pikirin gue aja, gratis malah,” balas Elvin dengan sedikit terkekeh.

“Serius, Kak.” Gina menatap Elvin sekilas.

“Kenapa? Mau di seriusin sekarang?” Elvin tersenyum miring. “Atau... lo udah suka sama gue?”

Gina gelagapan. Dia langsung menunduk namun beberapa saat perempuan itu berdiri dari duduknya, lalu mengambil kunci motornya yang ada di meja.

“Ayo, Kak. Katanya mau pulang.”

***

"Kamu dari mana aja? Kok baru pulang?" Sinta menatap khawatir pada anaknya. Pasalnya saat di SMS anaknya akan segera pulang dan dari tadi dia menunggu sampai 2 jam anaknya baru pulang.

Gina menyalami Sinta, dia tersenyum lalu menunduk. Rasa salah kini menghinggapinya lagi. “Tadi ada masalah di perjalanan, tapi gak apa-apa kok, Ummi.”

“Bener, enggak apa-apa?” Sinta mengelus putrinya sayang.

“Iya, Ummi.” Gina menatapnya sembari tersenyum, memastikan jika dia tidak apa-apa.

Sinta yang melihat itu hanya tersenyum lega.

“Ada apa Ummi? Tadi kayaknya ada yang mau di bicarain?”

“Nanti aja. Nanti malam kamu gak sibuk, kan?” Gina menggeleng. “Ya, sudah. Sekarang kamu mandi, gih, terus makan. Ummi udah siapin makanan kesukaan kamu di meja.”

Gina mengangguk lalu berjalan ke arah kamarnya. Dia curiga tentang Umminya yang akan berbicara nanti malam. Apa tentang perjodohan lagi? Padahal Gina dari kemarin sudah berusaha melupakan perjodohan ini untuk sementara. Dia tidak ingin mengingatnya di waktu sekarang.

***

Malam tiba. Di ruang makan terdapat Gina berserta Abi dan Umminya. Mereka bertiga sedang makan malam dengan suara dentingan sendok dan garpu yang mengisi ruangan itu.

Beberapa menit kemudian mereka selesai melakukan kegiatannya dan sekarang Gina duduk menatap Abi dan Umminya menunggu apa yang akan dibicarakannya.

“Ummi bukan mau melarang kamu, tapi ada baiknya kamu enggak berdekatan sama lelaki lain.” Sinta menatap putrinya dengan tangan yang mengusap kepala Gina.

Gina mengernyit. “Maksudnya Ummi?”

“Abi dengar kamu lagi dekat sama ... Siapa? Elvin, ya?”

“Iya, Elvin.” Sinta membenarkan.

Gina membelalak. Dari mana kedua orang tuanya tahu Elvin? Gina rasa dia tidak sedang berdekatan dengan seseorang apalagi dengan Kakak kelasnya itu, karena setiap pertemuan mereka itu murni kebetulan bukan karena janjian.

Gina menggeleng untuk mengelak ucapan kedua orang tuanya. “Abi sama Ummi tahu Kak Elvin?” dan dari banyaknya pertanyaan yang ada di benak Gina, kenapa pertanyaan itu yang terucap?

“Jadi, benar?”

“Eng-enggak, Abi.” Gina menggeleng.

“Kami cuman sekedar teman,” kata Gina dengan cepat namun dia bingung, kenapa hatinya terusik dengan pernyataan teman? “tapi, Abi sama Ummi tahu dari mana tentang Kak Elvin?”

“Dari calon kamu, sayang. Katanya dia suka merhatiin kamu.”

Gina bingung. “Dia tahu aku, Ummi?”

Ali dan Sinta mengangguk. “Minggu depan mau ada pertemuan sama temen Abi. Kamu ikut kumpul, ya? Sekalian kenalan sama calon kamu.”

Gina menatap kedua orang tuanya dengan sedikit tidak ingin. Hatinya sangat menolak namun ini tidak boleh. Gina mengangguk. “Iya,” balasnya pelan.

*****

Jangan lupa Follow akun wattpad aku ya. Dan jangan lupa vote dan komennya.

Baca juga cerita aku yang lainnya juga. Babay and see you next part!

Garis TAKDIR [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang