Bab - 18

277 30 23
                                    

***

Elvin menatap Gina cukup lama. Rasa sesak di dadanya kian bertambah. Air mata Gina yang mengalir kini rasanya berbeda. Jika dulu air mata itu mengundangnya untuk melindungi Gina, kini air mata yang keluar dari mata Gina mengundang rasa sakit yang tiada tara.

Hancur.

Hatinya sakit bagaikan kaca yang jatuh ke lantai dengan keras dan hancur berkeping-keping. Elvin sadar, bahwa Gina belum menjadi miliknya. Namun mengetahui fakta barusan, membuatnya ingin melangkah mundur.

Untuk apa dia mencintai seseorang yang jelas tak akan menjadi miliknya?

Mata Elvin tampak berkaca-kaca. Tidak pernah dia merasakan hatinya sesakit ini.

Siswa-siswi mulai bepergian dan Gina masih menatap Elvin dengan tatapan terluka. Elvin rasanya ingin tertawa. Padahal yang terluka adalah dirinya bukan Gina. Kenapa rasanya sangat menyakitkan?

Putaran kejadian di mana Gina meminta maaf padanya terulang kembali di pikirannya. Di mana dulu Elvin mengiranya bahwa masih ada yang membully Gina. Namun ternyata dugaannya salah. Apa maaf yang di maksud adalah maaf yang ini? Maaf untuk fakta ini?

Sejenak tatapannya dia arahkan ke atas. Menghirup udara sebanyak-banyaknya meski tidak membuahkan hasil. Nyatanya, dadanya semakin sesak.

Ini jauh lebih menyakitkan di banding dulu saat dia memperjuangkan Dinda.

“Gue terlalu percaya diri, ya, Gin?” lirih Elvin yang kini sudah menatap Gina.

Gina semakin terisak. Dia menggelengkan kepalanya beberapa kali. “Maaf....” hanya kata itu yang terucap dari tadi di bibir Gina.

Elvin terkekeh sebentar. Sekali lagi dia menatap Gina. Menatap dengan penuh cinta, menatap Gina dengan penuh sayang untuk yang terakhir kalinya. “Gue mundur.”

Elvin langsung berbalik dan pergi meninggalkan pekarangan sekolah. Persetan dengan belajar. Hatinya butuh ketenangan yang sialnya ada pada diri Gina. Begitu langkah kakinya sudah berada di luar sekolah, satu tetes berhasil jatuh membasahi pipinya untuk yang pertama kalinya karena perempuan.

Pengaruh Gina begitu hebat di hidupnya sehingga Gina berhasil membuatnya menangis seperti sekarang. Segera dia mengusap air matanya dengan kasar. Dia tidak boleh lemah. Ke mana Elvin yang dulu?

Seharusnya Elvin sadar, dia tidak pantas bersanding dengan Gina. Seharusnya Elvin sadar, mana ada perempuan yang mau dengan seorang bajingan seperti dirinya. Dan seharusnya Elvin sadar, perempuan sebaik Gina tidak mungkin mau dengannya.

Sementara disisi lain, Gina yang melihat Elvin pergi hanya bisa menangis. Harusnya Gina mempersiapkan diri untuk kejadian seperti ini. Mau bagaimana pun dirinya tidak memberitahukan fakta ini, suatu saat mereka pasti akan tahu. Cepat atau pun lambat.

Namun rasanya ini sangat terlalu cepat. Hatinya seperti di hantam palu bertubi-tubi saat Elvin mengatakan mundur dan perlahan melangkah menjauhinya. Kenapa harus seperti ini? Kenapa rasanya menyakitkan?

Reza yang masih stay disisi Gina hanya mendengus. Dia tidak ingin melihat Gina yang seperti ini. Dia berdeham sebentar. “Mau pulang aja? Biar gue anter.”

Gina mengusap air matanya dengan cepat. Dia melihat Kinan sekilas lalu mengalihkan pandangannya pada Reza. Gina tidak ingin menambah rasa sakit di hati Kinan, Gina tidak ingin menjadi teman yang tidak tahu diri. Perlahan Gina menggeleng membuat Reza mengangguk.

“Yaudah, gue mau masuk dulu. Ntar gue temuin lo lagi,” kata Reza santai tanpa tahu seseorang disisi Gina merasakan sakit di hatinya.

Reza berbalik lalu menghampiri Gilang yang sudah menunggunya disisi lapangan. Senyumnya terukir begitu dirinya sudah membelakangi Gina dan Kinan. Tentunya senyuman itu tidak diketahui oleh kedua perempuan yang ada di lapangan.

Garis TAKDIR [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang