Pulang

0 0 0
                                    

Hingga esok hari, banyak pesan masuk ke ponsel ku. Kadang aku merasa kecewa dengan sikap tak dewasa Dena, yang sejak diawal dia sudah mau menerima resiko selama kegiatan disana. Tapi sudahkah aku juga salah, kenapa aku tidak bisa bersikap profesional atau lebih bijaksana, semua sudah terjadi. Tak ada yang bisa aku sesali, yang bisa aku lakukan adalah memperbaiki diri.

Setelah kepulangan yang tanpa kata dan tanpa bicara itu. Aku selalu di hantui rasa bersalah. Iya bersalah sama guru-guru, terutama anak-anak yang setiap kali aku masuk kelas mungkin ada candaan yang membuat mereka terluka.

"Sinta, kenapa kamu gak pamit sayang?" Sebuah pesan singkat yang membuat aku merasa paling bersalah. Dia guruku, guru saat aku disekolah tempatku mengabdi.

Iya aku Sinta Angraeni, lahir di kota Angin, hidup dan berasal dari keluarga sederhana.  Meski demikian,  cita-citaku luar biasa. Materi tak bisa menghalangi aku untuk ikut setiap organisasi luar kampus. Padahal, bisa kuliah modal beasiswa. Tapi justru itu aku harus bisa mendedikasikan feedback baik dari pemerintah.

Bulan lalu, ada poster kegiatan mahasiswa mengajar program ujo coba modul bahasa inggris, yang dilaksanakan di garut. Entah aku langsung saja tertarik mengikutinya.
Meski tak begitu mahir di bahasa inggris, tapi aku nekad mengikutinya. Aku pikir, lebih baik mencoba kemudian gagal, daripada aku gagal karena tak berani mencoba.

Dreeed..dreeed..
"Assalammualaikum, dengan siapa?" Sebuah nomor tak bernama itu masuk panggilan.
"Kak," suara parau seperti menahan tangis itu, ya aku mengenali suaranya dia, Rahfa.
"Rahfa? Ini Rahfa kan?."
"Iya kak, aku Rahfa kakak kenapa tega pergi gitu aja." Isak tangis nya mulai terdengar jelas, mungkin dia sudah tak bisa lagi menahan kecewa nya.
"Iya Rahfa, kakak minta maaf ya, kakak buru-buru tadinya."
"Apa kakak risih sama aku? Jadinya kakak gak nyaman kan lama-lama disini." Rahfa mengambil kesimpulan.
"Bukan begitu Rahfa, kakak sama sekali gak ada perasaan atau pemikiran kaya gitu."
Dia hanya bisa menangis, tak menjawab perkataan ku tadi.

Klik.. panggilan suara dimatikan.
Sungguh, aku menyesal dengan.kepitusan yang telah aku ambil. Kenapa dengan cerobohnya aku bilang sama kak Diki tentang keinginan ku, Oh bukan, lebih tepat nya keinginan Dena.
Tunggu, kok aja jadi menyalahkan Dena. Padahal dia tidak tahu sama sekali bahwa aku bilang ke kak Diki. Kalau dia pengen pulang. Toh kalau aku tidak bilang mungkin kita masih ada disana, menjalankan tugas seperti yang harus kita lakukan.
Dan Dena harusnya lebih kuat menahan ego nya. Oh tidak, memang sebelumnya dia sudah kuat. Ini salah aku bukan salah Dena!

Aku terus memaki diri sendiri, menangis sekuatnya sampai harus merasa lebih tenang.
Beberapa hari, aku tak berani.mengaktifkan ponsel aku hanya nerdiam diri di kamar, sekedar mendengarkan musik lalu tidur.

Hingga suatu hari Dena datang.
"Sin, kamu kenapa? Di telpon gak aktif-aktif. Wajah kamu juga pucat, kamu sakit?" Dena bertanya lembut, suara khas rasa khawatir nya itu terdengar jelas.
"Aku tidak apa-apa kok." Aku berusaha menyembunyikan kesedihan ku di depan Dena.
"Besok mau ke kampus?"
Aku diam tak memberikan jawaban.

Bagaiamana aku mau ke kampus, sementara aku sudah di berikan Dispensasi dua minggu.

"Sin, ditanya malah melamun."
"Ehh iya maaf.. hmm eh kayak nya engga dulu deh, nanti saja."
"Kamu kenapa sih? " sepertinya Dena mulai curiga.
"Gak papa serius aku enggak apa-apa. Kita jalan-jalan yuk, bawa motor gak?" Aku mencoba menarik nafas melepaskan pilu dan harus berpura-pura bahagia.
"Bawa."
"Yaudah hayu main, bete di rumah terus." Aku sedikit memaksa, tangan ku menarik tangan Dena dan menyeretnya keluar.
"Ya ampun biasa saja kali, gausah tarik-tarikan emang nya aku kucing apa." Dena tersenyum,  senyum yang hahagia, sementara aku harus pandai menyembunyikan seolah semuanya baik-baik saja dan seolah tak pernah terjadi apa-apa.

Kita berkeliling desa, menikmati indah nya pemandangan dan merasakan sejuknya suhu yang masih asri.

Dirasa cukup puas, aku mengajak Dena pergi makan. Lapar, perutku belum terisi amunisi apapun hari ini.

Sepulang berwisata.
"Makasih ya Den, mau masuk dulu gak?"
"Enggak deh makasih, aku pulang ya udah mendung takut kehujanan di jalan, bye." Dena melambaikan tangan kirinya.

Semantara tangan kanan nya memegang setir motor.
Aku terus melihatnya, menyaksikan dia hilang di pandangan mata.
Aku sedikit lega, perasaan bersalah ku mulai berkurang, aku sadar. Segala sesuatu sudah terjadi,  mau menyesal pun tidak berarti.

Aku mengambil ponsel, ku aktifkan data. Awalnya aku mengira akan banyak pesan masuk, ternyata tidak ada sama sekali.

"Rahfa, lagi apa?" Klik. Pesan terkirim.
Belum ada balasan, mungkin Rahfa lagi sibuk.

Allahu akbar allahu akbar...
Suara adzan duhur berkumandang,  merdu sekali.  Segera ku langkah kan kaki memenuhi panggilannya.

Selesai sembahyang. Aku mengecek ponsel barangkali ada balasan dari Rahfa.
"Tuhkan benar, pasti Rahfa balas."aku berbicara sendirian.

Mahasiswa
Haturnuhun keur anjeun sadaya
Pikeun jiwa raga nu mulia
Nu daek ngajar tanpa upah
Nu daek susah tanpa di titah
      Mahasiswa
      Haturnuhun pikeun elmuna
      Sanajan singkat waktos pendakna
      Tapi aranjeun luar biasa
Mahasiswa
Jig geura nyiar elmu nu luhur
Carita nu luas
Ngan hiji kahayang kula
Ula poho
Ulah mohokeun
Ulah api api poho
Yen danget bareto
Anjeun jeng kula pernah nyieun carita

Mahasiswa
Dibarengan ku doa
Ti sim kuring saparakanca
Sing hasil dina ngambah bahtera elmuna

Rahfa, jeung budak kelas 7a.

(Mahasiswa
Terimakasih buat kalian semua
Untuk jiwa raga yang mulia
Yang mau mengar tanpa jasa
Yang mau susah tanpa diperintah
         Mahasiswa
         Terimakasih untuk ilmunya
          Meski singkat kita bertemu
          Tapi kalian luar biasa!
Mahasiswa
Carilah ilmu yang lebih tinggi
Pengalaman yang lebih luas
Tapi satu ingin kita
Jangan lupa
Jangan melupakan
Jangan pura-pura lupa
Bahwa dulu kita pernah bersama
Membuat sebuah cerita

Mahasiswa
Ditemani do'a
Dari aku dan teman-teman
Semoga sukses dalam mencari ilmu.

Rahfa, dan anak-anak kelas 7a)

Sebuah puisi yang mereka tulis, tak terasa air mata mengalir begitu saja.
Terimakasih anak-anak, semoga kita semua sukses.

"terimakasih, Rahfa bagus sekali puisinya kakak suka."
"Alhamdulillah kalo kakak suka, oh iya kak nanti malam aku mau cerita boleh gak."
"Boleh dong, apasih yang enggak buat Rahfa."
"Makasih kak."
"Sama-sama."

Percakapan lewat pesan singakat, sinag itu berakhir dengan rasa bangga kepada mereka. Aku merasa berterima kasih kepada guru-guru disana yang sudah mendidik mereka dengan baik.

.

.

.

.

TSP_AK

 RAHFA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang