Terhitung genap sepuluh hari. Aku berhasil mengumpulkan uang untuk biaya bertemu keluarga baru. Ku siapkan barang-barang yang harus ku bawa. Besok subuh, aku berangkat.
"Sinta bade kamana?" ( Sinta mau kemana? )
Suara itu. Iya suara yang membuat aku berbalik badan. Lama tak berbicara dengan nya. Tak ku sia-siakan kesempatan itu, aju berdiri, berjalan mendekat.
"Sinta bade ka Rahfa bu, tos lami hoyong tepang." ( Sinta mau ke Rahfa bu, sudah lama ingin bertemu. )
Beliau hanya diam. Tak ada senyuman apapun. Kemudian pergi dan duduk di ruang depan, aku mengikutinya kemudian duduk bersebelahan.
"Aya artosna?" ( ada uangnya)
"Alhamdulillah aya bu, Hasil icalan dikempelkeun, in syaa allah cekap." ( alhamdulillah ada bu, hasil jualan dikumpulkan, in syaa allah cukup)
Beliau menatap wajahku dalam. Ada begitu banyak yang ingin sampaikan, sorot matanya berbicara. Tapi bibirnya seakan begitu berat untuk mengungkapkan nya.
"Suganteh moal ka ditu, ibu bade nambut jang bayar ka pak Dede tilas bekel Sinta." ( kirain gak bakal ke sana, tadinya ibu mau pinjam buat bayar ke pak Dede bekas uang KKM Sinta )Kini kita sama-sama terdiam, bagai buah simalakama. Uang yang sudah ku kumpulkan untuk bertemu Rahfa ini adalah rebutan.
Tapi bagaimana lagi? Akhirnya ku berikan uang pada ibu, toh itu juga buat biaya aku sendiri. Ku urungkan niat pergi, dan kembali memikirkan skripsi.[Kak jadi ke sini?]
Sebuah pesan masuk dari Rahfa. Harus bagaimana aku menjawab nya? Sementara beberapa waktu lalu, aku telah berjanji akan menemuinya.
[Hmmmm]
[Kenapa kak]
[Kakak minta maaf ya, kakak belum bisa kesana, mungkin nanti.]
[Kenapa kak?]
Aku sudah tidak bisa berkata apapun lagi, ku biarkan pesan itu mengambang tanpa jawaban.Aku tak tega, jika harus mementingkan ego sendiri, dan tidak memperdulikan ibu. Dan aku tak tega juga harus membiarkan Rahfa, dengan harapan dihatinya.
Kemana lagi aku pergi?
Bagaimana lagi caranya agar aku bisa mendapatkan uang?Dalam kebingungan yang terus membuat ku melamun. Tiba-tiba bu Rini menelpon.
[Sinta, coba cek ATM ya, ibu sudah kirim uang buat kamu] sebelum aku menjawab apapun, bu Rini sudah mematikan telepon nya.Tanpa pikir panjang, aku bergegas pergi.
Ternyata benar, uang sudah masuk.
Iya apapun resikonya hari ini aku harus tetap berangkat, Bu Rini sydah cukup baik memberiku uang, padahal aku yang membutuhkan bantuannya.Alasan ku yang terlalu mengambil resiko untuk terus tetap mendampingi Rahfa adalah karena memang hari ini sudah mulai gelap. Sebentar lagi waktu magrib tiba, dan perjalanan ke rumah Rahfa membutuhkan waktu sekitar lima atau enam jam.
Aku memberanikan diri, dengan hati yang sebenarnya takut. Aku mengangakat ke dua tangan, mengangkat kepala, aku memohon keselamatan pada yang maha pemberi Selamat.
Misi untuk menyelesaikan skripsi sebenarnya masih nomor dua. Misi yang paling penting adalah aku ingin tahu siapa orang yang berani membuat Rahfa kembali down.
Beberapa waktu yang lalu, aku membuat nya sebuah novel, kisah hidup tentang dirinya. Iya karena bagiku, kehidupan Rahfa penuh dengan inspirasi dan motivasi. Orang-orang diluar sana harus membaca kisahnya.
Tapi dengan tiba-tiba dia memutuskan untuk segera membatalkan novel, yang sudah hampir sempurna. Alasannya cuma satu, karena ada teman nya yang ngomongin.
Terkadang, lama-lama aku jengkel juga dengan Rahfa. Yang terlalu ambil pusing dengan omongan-omongan yang sebenarnya tidak perlu di dengar itu. Tapi kembali lagi pada sikap dan peristiwa yang lalu, ia mungkin Rahfa masih trauma.
Tapi aku tak bisa membiarkan dia, terus-terusan trauma. Mau sampai kapan? Ah sudahlah, emosi ju mulaj naik.
Sebelum pergi, ku laksanakan tiga rakaat ku. Berharap ridho dan keselamatan dari-Nya tetap berpihak kepadaku.
Iya, hari ini pukul tujuh malam aku benar-benar nekad untuk pergi.TSP_AK
KAMU SEDANG MEMBACA
RAHFA
Historical FictionAda beberapa part yang dihapus, karena sudah terbit ✨✨✨ . . Seorang gadis kecil, lahir dari seorang ibu yang menjadi istri pengusaha sukses. Kehamilan di tengah puncaknya usaha dan karier keduanya menyebabkan kelahiran bayi tak berdosa itu tak diing...