Kerinduan

2 0 0
                                    

[Hallo tante]
[Oh iya siap tante boleh.]

Iya, tiba-tiba Tante aku menelpon. Menyuruhku untuk bisa meluangkan waktu menemuinya. Tentu saja aku berangkat, selepas nenek ku pergi, tantelah satu-satu nya keluarga yang aku miliki.

Hari esok libur, sore ini aku akan memesan tiket kereta. Ibu kota dengan kampung halamanku ada jalur kereta, tidak perlu pusing, dan tak memakan waktu yang lama.

~~~~~

"Rahfa, sebenarnya sudah lama tante ingin mengatakan ini semua." Suasana perkumpulan kami menjadi lebih serius, tante , om Reza dan beberapa keluarga ku yang lain, salimg memandang.
"Sekarang kamu sudah dewasa, sudah saat nya tahu semuanya."
Aku terdiam. Tak mengerti apa yang sebenarnya beliau katakan.
"Begini Rahfa, Rahfa kangen tidak sama ayah ibu? " lagi-lagi aku hanya bisa diam, dan menunduk.
"Rahfa, kami mohon sama Rahfa, jangan sampai ada perasaan benci sedikitpun sama orangtua Rahfa, terutama sama ibu Rahfa."

Haha, omong kosong! Bagiamana aku tidak membenci, sejak kecil sampai sekarang sudah dua puluh tahun usiaku, aku belum pernah sama sekali melihat wajahnya.

"Rahfa, harus kuat ya."
"Kenapa tante?"
"Jadi, dulu saat ibu kamu pergi ke kota, dia hamil oleh pacarnya."
"Iya tante aku tahu!" Suara ku sedikit meninggi
"Pacar yang sekarang menjadi suaminya bukan?"

Semua terdiam.  Kemudian Tante Rini, kembali melanjutkan ceritanya.

"Bukan Rahfa. Ibu kamu hamil oleh lelaki yang tidak bertanggung jawab. Kemudian, datanglah ayah kamu. Dia baik, dia rela bertanggung jawab meskipun bukan dia pelakunya."

Baik? Ayah ku baik? Kalau dia lelaji yang baik, dan kalau memang venar dia bertanggung jawab. Kenapa dia tidak mau membawa ku bersama ibu?

"Kenapa dia melakukan itu, tante?"
"Karena ayah kamu merasa bersalah. Dia mengenalkan teman nya kepada ibumu."
"Kalau dia baik kenapa, aku tidak boleh tinggal dengan ibu?"

Lagi-lagi mereka terdiam.

"Itu yang membuat kami tidak mengerti, tapi yang pasti ayah ibu Rahfa itu orang yang baik. Mungkin ayah Rahfa takut pamornya turun." Om Reza mulai menimburung,  setelah tante Rini mungkin kehilangan kata-lata untuk menjelaskan lagi.

"Sebenarnya aku sudah tidak peduli lagi dengan mereka, om, tante."
"Jangan begitu Rahfa,  tidak baik."

Tidak baik? Apakah yang orangtua aku lakukan itu adalah perilaku yang baik?

"Masalahnya begini Rahfa, keadaan ekonomi orangtua kamu hancur. Perusahaan ayah kamu ditipu, dan terancam bangkrut."

Aku muak. Mendengar lelaki itu disebut ayahku, yang jelas aku tidak punya ayah. Benar kata teman-teman ku dulu, kalau aku anak haram.

"Ibu kamu syok, kemudian mengendarakan mobil dengan kecepatan tinggi." Om Reza terdiam, kemudian menarik napas panjang.
"Ibu kamu kecelakaan, dan meninggal di tempat."

Deg.. dada ku terasa sesak. Sakit, sakit sekali. Kebencian ku yang sudah begitu mengeras melebih batu. Tiba-tiba mencair. Airmataku tumpah, mengakir deras, membasahi wajah. Belum cukup sampai disana. Tante Rini melajutkan lagi.

"Sementara ayah kamu, terlalu memikirkan segalanya, mengahbiskan waktu nya untuk berpikir. Alhasil, dia stress dan bahkan sampai mengalami gangguan kejiwaan. Dia dibawa orangtua nya, ke rumah sakit jiwa."

Sumpah, demi apapun. Dunia ku seakan telah berhenti. Kehilangan orang-orang yang sangat penting bagiku adalah kehilangan separuh hidupku.

"Tante, dimana ibu Rahfa dimakam kan?" Aku mencoba menenangkan diriku sendiri, meski dengan suara yang terisak, aku harus tetap kuat.
"Sebenarnya, tempat kamu bekerja dengan rumah orangtuamu tidak begitu jauh."

Aku lemas. Tidak ada semangat untuk hidup lagi. Aku jatuh sakit, beberapa hari aku tak masuk kerja.
Soal kantor, aku sudah izin ke pak Hendra. Tidak masalah, semua baik-baik saja.

Aku tak berani menceritakan siapa aku sebenarnya kepada kak Sinta. Biarkan ini menjadi rahasia terbesarku. Bukan aku tak percaya kepada kak Sinta. Tapi aku sudah tak ingin menambah beban kepadanya.

 RAHFA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang