Ternyata

1.2K 176 2
                                    

Lisa udah ada di kamarnya Jeka, ngebiarin Jeka yang masih diam di atas kasurnya. Pulang tadi gantian Lisa yang nyetir, karena keadaan Jeka yang masih  belum bisa ditanya apapun. Lisa mengoleskan obat ke tangannya Jeka yang lecet, lalu keluar kamar menuju dapur buat bikin coklat hangat.

"Sa..."

Suara Jimy menghentikan tangannya mengaduk coklat di dalam gelas.

"Eh Jim..."

"Makasih ya..."

Lisa mengangkat alisnya.

"Buat apa?"

"Tadi om Pram nelpon, nyeritain semuanya. Dia nyesel katanya..."

Lisa tersenyum.

"Jeka lagi butuh waktu, dia kelihatan masih shock."

"Iya gue tahu, Lo temenin dia dulu deh..."

Lisa mengangguk sambil berjalan meninggalkan Jimy masih ingin berada di dapur.


"Jek, lo minum susunya dulu ya. Gue mau balik ke kamar."

Tangan Lisa di pegang Jeka ketika dia mau melangkah keluar.

"Temenin gue dulu Sa..."

Lisa sebenarnya bingung, dia ngerti banget Jeka lagi butuh seseorang di sampingnya. Disisi lain dadanya tiba-tiba deg-degan mengingat dia akan berduaan aja di kamar Jeka. Akhirnya Lisa duduk di samping Jeka, senang melihat Jeka mulai meminum coklat hangat buatannya.

Mereka duduk di karpet biar lebih santai, Jeka kemudian bercerita.

"Waktu kecil, gue selalu iri sama teman-teman yang punya keluarga sempurna. Mama, papa, adek, kaka, menghabiskan waktu bersama, entah di rumah atau pergi liburan..."

Jeka menyandarkan punggungnya di pinggir kasur.

"Gue selalu ditinggal sendiri di rumah, untung ada Jimy yang sering maen ke rumah."

Lisa memeluk lututnya, telinganya masih dengerin Jeka cerita.

"Gue gak ngerti, suami istri itu bisa saling tidak mencintai lagi. Apa mereka sudah tidak bisa menerima kekurangan pasangan masing-masing ya?"

Lisa belum bisa ngasih komentar apapun, dia masih nunggu Jeka selesai curhat dulu. Mungkin Jeka sering cerita sama Jimy, tapi itu mungkin belum cukup buat Jeka.

"Lo tahu, yang buat bokap nampar gue tadi karena gue bilang dia pengecut. Gara-gara dia bilang  mau nikah lagi..."

Lisa menghela napas, mulai ngasih pertanyaan sama Jeka.

"Lo pernah tanya sama mereka, apa sebenarnya yang bikin mereka bahagia?"

Jeka tersenyum miring.

"Mereka seharusnya tahu gimana perasaan anaknya ngeliat mereka berpisah..."

Lisa liatin Jeka.

"Mungkin itu jalan yang terbaik buat mereka. Kalau lo liatnya dari sisi lo doang sih ya lo pasti menganggap itu bukan jalan yang lo mau..."

Jeka diam, mikirin ucapan Lisa barusan.

"Tapi gue gak mau mereka cerai..."

"Apa mempertahankan pernikahan mereka juga adalah solusi yang terbaik untuk mereka?"

Lisa gak bela siapapun disini dia hanya ingin Jeka mengerti bahwa masih ada jalan lain untuk membuat keadaan menjadi lebih baik.

"Lo udah dewasa, lo harusnya bisa membedakan kapan lo bisa egois, kapan lo bisa harus melepaskan sesuatu demi kebahagian orang lain."

Jeka menatap Lisa, sepertinya sesuatu telah menghantam pikiran dan hatinya. Apa selama ini dia egois dan tidak memikirkan perasaan orangtuanya yang sebenarnya.

"Mungkin waktu kecil, perceraian itu sesuatu yang menyakitkan melihat orangtua kita tidak lagi saling mencintai. Tapi seiring berjalannya waktu lo juga harus mikirin seberapa menderitanya mereka masih mempertahankan rumah tangganya...sekarang lo pikirin deh, kalau bokap lo bisa bahagia sama orang lain, lo mau nerima keputusannya? Terus juga kalau nyokap lo bahagianya ternyata bukan sama bokap lo, lo mau nerima kenyataan itu?"

Jeka menggigit pipi bagian dalam.

"Mereka berpisah juga tidak membuat perasaan mereka jadi lain sama lo kan, mereka tetap sayang sama lo sampe kapanpun. Mungkin udah saatnya lo belajar mengikhlaskan demi kebahagian mereka sendiri..."

Lisa ikut terdiam dengan kata-katanya sendiri. Ini sepertinya pantas ditujukan pada dirinya juga. Dia harus mulai melepaskan bayang-bayang sakitnya dikhianati Tendra dulu.

Lisa menunduk, dia sadar udah terlalu banyak bicara takut malah menyinggung perasaan Jeka.

"Kok gue pingin nangis lagi sih Sa..."

Lisa menelan ludahnya denger ucapan Jeka yang diluar dugaannya.

Lisa hanya garuk-garuk jidatnya.

"Gue gak nyangka, cowok kayak lo bisa punya pikiran kayak gitu..." 

Lisa ngejitak kepalanya Jeka.

"Sialan, gue cewek tulen tau."

Jeka tertawa liat mukanya Lisa yang cemberut.

"Makasih ya..."

Dahi Lisa berkerut.

"Lo udah mau nemenin gue, ternyata lo bisa diajak tukar pikiran juga."

Lisa nyengir.

"Temenin gue nonton ya, gue baru beli film bagus nih." Jeka menyalakan dvd player lalu menyetel film yang baru dibelinya.

"Lo mau nyetel film romantis ya, modus lo." ujar Lisa.

"Tau aja lo, gue sengaja pingin nonton tentang cinta-cintaan. Kalau nontonnya berdua kan bisa..."

"Bisa apaan lo?" Sewot Lisa.

"Bisa seru maksud gue." Jawab Jeka pelan.

Lisa emang gak bakal kepancing nonton film romantis sama Jeka, soalnya belum dua puluh menit film dimulai dia udah tidur aja di karpet. 

Jeka tersenyum liat Lisa yang ketiduran, mungkin dia kecapean abis dengerin curhatannya. Jeka goyang-goyangin bahunya Lisa.

"Sa...tidurnya di kasur gih."

Lisa udah gak bisa diganggu gugat, dia udah menyelam ke alam mimpinya. Jeka akhirnya mengangkat Lisa untuk dipindahin ke atas kasur.

Sambil menyelimuti Lisa, Jeka liatin Lisa yang lagi tidur dengan nyamannya. Menatapnya lama sampe menemukan keindahan di wajah yang tertidur itu bikin dia gak sadar menggerakkan tangannya untuk menyentuh wajahnya.

Tapi Lisa bergerak, memiringkan badannya membuat tangan Jeka tidak jadi untuk menyentuh wajah Lisa.

Jeka tersenyum, menertawakan kebodohannya sendiri yang tidak disadarinya. Diapun melanjutkan menonton film sampai dia sendiri ketiduran di atas karpet depan televisi.

...

"0327"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang