Bag 16 Kesepakatan

76 10 0
                                    

16. Kesepakatan

Ada sebuah kutipan di mana tertulis seperti ini “Hubungan asmara itu seperti kaca. Terkadang lebih baik meninggalkannya dalam keadaan pecah daripada kamu harus melukai dirimu sendiri untuk menyatukannya kembali”. Kutipan itu mengingatkan Dian tentang hubungannya bersama Faisal dulu. Mereka yang awalnya saling mencintai tiba-tiba harus berakhir dengan perasaan kecewa dan marah. Kaca yang menjadi perumpamaan hubungan mereka sudah pecah akibat satu kesalahan fatal oleh Faisal. Dibanding memberinya kesempatan untuk memperbaiki hubungan mereka, Dian lebih memilih meninggalkannya.

Kesempatan kedua itu selalu berakhir sia-sia. Tidak semudah itu manusia belajar dari kesalahannya sendiri. Bagi Dian, orang yang dari awal sudah berkhianat tidak menutup kemungkinan bahwa mereka akan kembali berkhianat lagi. Sulit bagi Dian untuk kembali percaya pada orang-orang.

Terlebih tatapan mereka yang memandang Dian iba, prihatin, jijik masih terbayang-bayang di ingatan. Tidak jarang jika setiap malam semua perkataan yang kerap kali terdengar sangat nyata membuat Dian tersiksa, membuat Dian secara tidak sadar mengiris pergelangan tangannya sedikit demi sedikit. Kekosongan dan kehampaan lambat laun menyerang kondisi psikisnya. Dian benci dirinya yang seperti itu.

“Kasihan yah bokapnya mati karena ulahnya sendiri.”

“Suruh siapa mesum di lab, kayak gak ada tempat lain aja.”

“Kalau gue jadi lo, lebih baik gue mati.”

“Kasihan banget sih jadi lo.”

Semua perkataan yang keluar dari mulut orang-orang tidak berotak berhasil membuat Dian goyah. Dian benci dikasihani, dia tidak se-menyedihkan itu untuk dikasihani oleh mereka semua. Dian tidak selemah itu. Lantas mengapa kata kasihan selalu melekat padanya?

“Gue gak nyangka lo yang dateng sendiri ke gue,” ucap lelaki itu dengan nada bangga. Tatapannya menatap Dian seolah-olah Dian adalah mangsa yang ia tunggu kehadirannya. Bagaikan seekor rusa yang menyerahkan dirinya secara sukarela kepada seekor singa.

Dian hanya menghela napas malas. Ekspresinya masih dingin dan datar, jantungnya berdetak tidak karuan namun kepalanya tetap ia tegakkan seolah dia adalah gadis yang terkuat. Dian ingin membuktikan kepada Reyhan bahwa Dian tidak se-menyedihkan itu untuk dikasihani.

“Jadi apa yang membuat seorang Dian datang kesini?” tanya Aldo antusias.

Bukannya menjawab, pikiran Dian malah melayang ke kejadian kemarin, di mana Faisal datang ke sekolahnya dan Aldo menyaksikan perdebatan mereka berdua. Sebenarnya, itulah yang ingin Dian ceritakan pada Reyhan kemarin di rumah sakit.

Sesaat setelah Faisal pulang, Aldo menghampiri Dian. Meskipun disambut dengan wajah masam oleh Dian namun Aldo tetap tersenyum manis seolah tidak terganggu dengan hal itu.

“Dia mantan pacar lo? Boleh juga, kenapa lo putusin?” tanya Aldo.

“Bukan urusan lo,” ketus Dian.

“Kalau Reyhan yang tanya apa lo bakalan jawab?”

Dian menatap Aldo dengan pandangan risi. Pandangan yang jelas-jelas bahwa Dian terganggu dengan kehadiran Aldo di depannya.

“Wahh kayaknya hubungan lo sama si pecundang itu semakin maju, gak nyangka gue cewek sedingin lo bisa jatuh juga sama Reyhan,” kekeh Aldo terkesan mengejek.

“Tapi yang gue tau, si Reyhan itu deketin lo cuman karena dia gak mau lo deket sama gue. Jadi gue saranin jangan sampai lo jatuh terlalu dalam sama dia.”

Dian tersenyum miring, “Itu yang lo tau, artinya itu cuman persepsi lo doang, kan?”

“Persepsi yang didasari fakta,” ralat Aldo. “Emang lo yakin kalau si Reyhan deketin lo karena tertarik? Atau bisa jadi … dia deketin lo cuman karena kasian?”

DIANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang