[Air Mata Fatim]

49 13 0
                                        

🌺🌺🌺🌺🌺

"Berada di danau ini memberikan sedikit ketenangan dan banyak kenangan."

-Fatim-

🌺🌺🌺🌺🌺

Kehidupan di seluruh dunia sudah seperti sedia kala. Tak ada lagi virus korona yang menggemparkan semesta. Aku kini terkena imbasnya waktu terasa amat cepat berlalu. Padahal inginku mengulur waktu.
Tiga tahun menjalani pendidikan sekolah menengah pertama berlalu, begitu saja. Tak meninggalkan kesan yang bermakna.

Datar.

Hidup ini terasa datar. Tak ada tantangan apapun. Awal mula masuk sekolah sampai acara perpisahan pun tak memberikan kesan. Ah, hari ini dan kemarin memang hanya biasa-biasa saja. Entah, hari esok.

Di satu sisi aku bahagia, karena bisa menyelesaikan masa putih biru dengan sempurna. Nilai di atas rata-rata, tapi di sisi lain. Aku berduka. Sebentar lagi perjodohan itu akan terjadi.

***

“Fatim, seragam putih birumu udah disertika?”

“Sudah, Bu.”

“Kemasi baik-baik, nanti berikan ke adik kelasmu yang kemarin kamu ceritakan.”

“Iya, Bu.”

Aku tiada berdaya menanggapi ibu, hanya bicara sekenanya saja. Bukan. Bukan karena tak hormat, tapi perjodohan itu membuat lidah ini kelu. Padahal sebelumnya aku yang sangat bersemangat ingin memberikan baju-baju yang layak pakai untuk adik kelas di sekolah yang hidupnya jauh dari kata sejahtera.

“Kalau begini seragam sekolahmu lebih bermanfaat ‘kan, daripada dicoret-coret enggak jelas gitu. Mubazir.”

“Iya Bu.”

“Besok calon suamimu sama keluarganya mau datang ke rumah.”

“Loh, Bu?” Pertanyaanku lebih ke arah pernyataan atau malah pemberontakan.

“Iya, kalian lamaran, setelah itu cari tanggal pernikahan.”

“Fatim masih mau sekolah titik. Lagipula orang itu siapa? Fatim enggak kenal, Bu. Fatim enggak tahu bibit, bebet, dan bobotnya. Fatim enggak mau dijodohin!”

Aku berlari meninggalkan ibu begitu saja. Mata ini terasa memanas, mungkin sebentar lagi hujan deras mengguyur diri ini.

Aku pesan ojek online dengan tujuan danau tempatku dulu bercengkrama dengan Sucipto. Percuma berlama-lama di rumah, hanya akan membuatku gila.

Sekarang yang aku butuhkan hanyalah tempat untuk menenangakan diri. Sendiri. Meskipun sejatinya membutuhkan seseorang yang bisa diajak berdiskusi.
Sepeninggal Sucipto tak ada lagi teman yang dekat denganku. Atau lebih tepatnya diri ini yang terlalu tertutup. Tak mengizinkan ruang di hati untuk seorang sahabat.

“FATIM … MAU KEMANA KAMU, SAYANG? Ibu berteriak, menyusulku ke teras rumah.

Aku hanya diam, tak menanggapi. Bukan, bukan karena ingin dicap sebagai anak durhaka, tapi rasanya amat sulit menerima kenyataan ini.

Dua sosok orang yang sangat aku cintai mengapit tubuh ini yang terduduk di atas teras. Sial! Abang ojek online yang aku pesan belum juga tiba.

“Fatim, anak kesayangan bapak, sekarang keputusan ada di tanganmu. Bapak tak ingin memaksa sebuah pernikahan, bisa jadi nanti hanya berakhir pada perceraian.”

PANGGIL AKU FATIMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang